Pages

Kamis, 03 Juni 2010

(RED) Part 1: Destination

Pagi ini, Mia yang resmi telah menjadi bagian dari keluarga Grace baru akan berangkat ke sekolah. Hari ini adalah hari pertama ia akan bertemu teman-teman barunya dan hari pertama ia pergi sebagai siswi di tahun ajaran baru. Saat akan pergi, ibunya memberikan sebuah buku yang sedikit lebih tebal dari buku harian anaknya dahulu.


“Mia, ini untukmu…kau bisa menuliskan hal yang kau alami di sini.”

“Terimakasih, Ibu..”

“Kuharap kau bisa menjaga kehormatan keluarga kami.”


Mia mengangguk, lalu ia melambai dan segera menghampiri supirnya. Ia langsung naik ke mobil tanpa berkata apa-apa. Di sepanjang perjalanan, ia hanya membolak balik buku yang baru saja diberikan oleh ibu angkatnya.


“Nona, sudah sampai.”

“Oh..terima kasih…”


Mia turun dari mobil dan berjalan menuju koridor kelas. Beberapa anak lainnya tampak sedang mengobrol satu sama lain, koridor kelas tampak ramai dengan kehadiran murid-murid baru itu.


“Mia Grace, Hei!”

“Desta?”

“Iya, masih ingat kan? Aku yang waktu itu ada di gedung pertemuan.”

“Iya…aku masih ingat, waktu itu kamu kan yang minta nomor handphone supir pribadiku?”

“Ah…iya, kenapa kamu tidak hadir di pertemuan keduanya?”

“Kondisiku kurang baik pekan lalu…maaf ya…”

“Oh…begitu. Tapi sekarang kau sudah sehat kan?”

“Sudah…tentu saja.”


Mereka berjalan sepanjang koridor, lalu mereka duduk sambil bercerita mengenai berbagai hal. Lalu anak-anak lainnya mulai menghampiri mereka dan saling memperkenalkan diri. Tanpa mereka sadari, seorang anak yang duduk cukup jauh dari mereka diam-diam sedang memperhatikan mereka. Setelah cukup lama mengobrol, Mia merasa kepalanya agak pening.


“Mia? Kamu nggak apa-apa kan?” Desta mulai panik

“Nggak…Cuma pusing sedikit…”

“Kemarin kamu sudah sembuh kan?”


Pandangan Mia kosong…ia tak ingat apa-apa dan tubuhnya mendadak lemas.

***

Dunia ini tampak gelap, seolah tak pernah ada cahaya yang masuk ke dalamnya. Perlahan pecahan permata muncul dan berkumpul…menjadi wujud Mia. Ia tampak lain, pakaiannya kini hanya gaun panjang berwarna hitam dan ia memakai jas dengan warna serupa. Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya, terlebih tangannya terasa kasar seperti pecahan. Mia hanya melihat kegelapan abadi sekarang dan perlahan ia bergumam sesuatu.


“Nona, lama tak berjumpa…”


Mia melihat ke sekelilingnya, gelap, tidak ada tanda-tanda seseorang berbicara di situ. Ia mulai merasa takut untuk mengucapkan sesuatu. Mia yakin, sebelumnya ia pernah ke dunia yang berlainan ini, tapi ingatannya tidak menunjukkan bahwa ia benar-benar pernah datang ke dunia ini. Tak lama, ada sesosok laki-laki yang sebaya dengannya.


“Kau siapa?”

“Kamu…Mia?”

“Apa kau tahu ada apa denganku sekarang? Aku pingsan di hari pertama ke sekolah dan…”

“…”

“Kau membawaku ke sini kan?”

“…Ya”

“Kau sendiri siapa? Keluarkan aku dari sini!”

“Kau benar-benar lupa ya?”

“Terserah kau mau jawab atau tidak, tapi keluarkan aku sebelum yang lainnya panik!”

“Baiklah…sini.”


Anak itu member isyarat agar Mia menghampirinya. Lalu Mia menghampiri laki-laki itu tanpa berkata apa-apa, ia sendiri bingung dan sedikit panik sekarang. Laki-laki itu menggenggam sebelah pundak Mia lalu mendorongnya. Di alam bawah sadarnya, Mia terjatuh.


“Namaku Shiroi.”


Hanya kata itu yang jelas terdengar, perlahan tubuh Mia lenyap dari dunia itu.

***

“Miaa!!!” Teriakan Desta menyadarkan perempuan itu sampai refleks menutup telinganya.

“…BERISIK TAHU!!!”

“Kau sudah sadar?”

“Ya…”


Mia segera meminum air pemberian Desta. Setelah pandangannya pulih, ia melihat Shiroi ada di hadapannya. Saat tersadar, perempuan itu langsung menampar Shiroi dengan tangannya.


“Mia! Kenapa…?” Desta menghalangi tangan Mia yang hendak menampar kedua kalinya.

“…Nggak…” Mia menggeleng begitu saja, membuat sekelilingnya heran.

“Kamu nggak mimpi kan?”

“Nggak...hanya barusan aku baru mimpi buruk.”

“…”

“Shiroi, jam istirahat nanti ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Ya…maaf soal tadi.”


Mia hanya tersenyum, lalu Shiroi pergi dari hadapannya. Desta segera mengajak Mia ke kelas barunya. Kelas itu tampak bersih dan fasilitasnya lengkap. Sekolah ini adalah salah satu sekolah elit dengan fasilitas canggih termasuk AC dan laptop di setiap bangkunya. Sejenak Mia mulai berpikir dan mengingat masa lalunya, tapi ia sadar bahwa sekarang tugasnya hanyalah menentukan jalan hidupnya sendiri sehingga ia mulai berusaha melupakan masa lalunya dimana ia masih mengalami banyak permasalahan dalam hidupnya, terutama sejak Grace bunuh diri beberapa tahun yang lalu.


“Mia…?”

“Iya, ada apa?”

“Bengong aja…jangan-jangan Shiroi dan kamu itu…”

“Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan dia…atau kamu suka ya sama Shiroi?”

“Nggak…”


Tak lama kemudian, Shiroi dan anak-anak lainnya masuk bersama calon wali kelas mereka. Mia dan Desta segera duduk di bangku yang saling bersebelahan. Mia melirik ke arah Shiroi dan berusaha agar ia tidak ketahuan oleh Desta. Desta memang bukan tergolong teman barunya, Mia baru berkenalan dengan Desta sebulan yang lalu, namun sampai sekarang Mia masih enggan memberi Desta nomor handphonenya, karena ada yang dirahasiakannya dari Desta sampai sekarang.

***

Bel istirahat berbunyi cukup keras, sebelum murid-murid keluar, mereka terlebih dahulu member salam kepada dua guru yang berdiri di depan kelas. Saat semuanya antri untuk keluar kelas, Mia yang lebih dulu keluar langsung bersandar di tiang koridor. Lalu ia memanggil Shiroi.


“Shiroi, sebaiknya aku bicara sekarang, sambil jalan.”

“…Baiklah…”


Sambil berjalan sepanjang koridor menuju ke kantin, Mia mulai membicarakan tentang statusnya yang sekarang pada Shiroi.


“Agaknya sulit bagiku untuk memanggilmu dengan sebutan ‘Nona’.”

“Kalau begitu…ya tidak usah, usiaku tidak jauh darimu kan?”

“Ya…amanat kakak angkatmu itu benar juga.”

“Menjadikan aku sebagai penerusnya? Sebenarnya aku juga bingung saat pertama kali berkenalan denganmu…aku…”

“Sekarang kamu banyak berubah…setidaknya dari sikapmu sekarang.”

“Masa?” Mia setengah terkejut, Shiroi hanya tersenyum tenang.

“Kamu juga tidak mengenaliku pada awalnya ‘kan?”

“Ya…padahal kalau aku ingat-ingat wajahmu dulu rasanya manis sekali…” Kata Mia setengah tertawa.

“…”

“Begitulah, sekian tahun itu rasanya sebentar sekali untukku.”

***

“Destaa…!” Dhita berlari sambil membawa setumpuk buku.

“Ngg…ada apa?”

“Ini…tadi Bu Walikelas berpesan, kita masuk kelas lima belas menit lebih awal.”

“Haaah?!” Desta terkejut sampai kotak bekalnya hampir jatuh.

“Ya…katanya mau diadakan pemilihan untuk organigram kelas…begitu.”

“Haah…bekalku belum habis.”

“Memangnya kalau bekalnya belum habis kenapa?”

“Nanti ibu dan pembantuku marah semua…”

“Ehm…gimana kalau teman-teman saja yang menghabiskannya? Kue sebanyak ini ‘kan tidak mungkin habis sama kamu sendirian.”

“Iya juga…nih, aku titipkan, mau dihabiskan juga terserah…Mia kemana?”

“Tadi sama Shiori pergi ke arah kantin.”

“Apaaa?!”


Desta langsung berlari ke ujung koridor, tak lama ia sampai di depan kantin menemui Mia dan Shiroi. Begitu ia menyampaikan berita itu dengan cepat, mereka langsung berlari menuju kelas. Anak-anak lain sudah berada di sana dan sedang menunggu Bu Walikelas datang.


“Tuh kan…ada apa-apanya…Mia sama …”

“Destaa…berapa kali ya aku harus bilang ini Cuma urusan keluargaku saja.”

“Iya…iya…”

“Setidaknya aku jadi penasaran kenapa kamu minta nomor supir pribadiku…buat apa?”

“Oh itu…cuma berkenalan.”

“…Seharusnya kamu yang paling patut dicurigai…”

“Ya…apa salahnya kalau aku bercerita tentang hidupku padanya?”

“Kamu mau mencuri kesempatan untuk mengambil alih posisinya menjadi supirmu?”

“Nggak lah…keluargaku hanya menerima supir yang sudah tua…tenang…”

“…”

“Enak ya, punya supir masih muda, lajang, terus…”

“Ehem!”


Rupanya Mia memberi sedikit komando agar kelas itu tenang, karena Bu Walikelas tengah berada di ambang pintu. Lalu, dimulailah kegiatan membuat struktur organisasi kelas. Dimulai dengan terpilihnya Desta sebagai ketua kelas dan Mia sebagai wakilnya. Kegiatan itu berlangsung lancar sampai bel pulang berbunyi.

***

Mia segera naik ke mobil saat melihat Desta melambai ke arah supir pribadi Mia. Tapi, tampaknya laki-laki itu cuek saja dan hanya melihat Desta di kejauhan. Setelah cukup jauh dari sekolah, supir itu mulai memperlambat laju mobil dan bertanya pada Mia yang sedang menulis catatan di buku yang diberikan oleh ibu angkatnya tadi pagi.


“Nona, yang tadi itu temanmu?”

“Iya…memangnya kenapa?”

“Kenapa melambai ke arahku?”


Mia mulai berpikir kalau supirnya ini masih kurang berpengalaman dalam hal peruntungan cintanya. Sambil menggeleng, Mia hanya berkata ia tidak tahu.


“Siang ini mau makan di mana, Nona?”

“…”

“Nona?” Kali ini kesabaran supir itu habis juga.

“Aku mau makan di rumah, efeknya buruk kalau aku makan di restoran.”

“…”

“Tapi terserah kau juga, kalau mau di restoran kursinya masing-masing.”

“Tadi nyonya besar memasak sesuatu untuk makan siang.”

“Jadi sebaiknya makan siang di rumah saja, aku jadi nggak enak.” Kata Mia cepat.


Mobil itu mulai berbalik arah ke rumah Mia. Mereka kini tiba di depan rumah berpagar tinggi dengan aneka kebun mawar dan semak belukar di taman. Rumah itu sangat besar dan luas walaupun penghuninya hanya ada beberapa orang saja. Namun, Mia sudah menganggap rumah itu seperti rumahnya yang dulu, hanya saja ruang piano di rumah ini dua kali lipat lebih luas daripada di rumahnya dulu. Mia memasuki ruangan utama, membuka pintu beraksen ukiran yang sangat indah.


“Ibu…Mia pulang.”


Tidak ada sahutan, tiba-tiba ia kembali mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Mia segera pergi ke lantai dua dan bernafas lega saat tahu ibunya berada di kamar Mia.

“Ibu…!” Mia segera merangkul ibunya erat, ia tidak mau lagi kehilangan orang yang ia sayangi.


“…Mia baru pulang? Cepat sekali.”

“Ya, berhubung ini adalah hari pertama Mia masuk sekolah dan baru mengorganisir kegiatan kelas, jadwal belajar, dan tentu saja organigram kelasnya.”

“Kamu jadi apa di kelas?”

“Wakil ketua kelas, Ketua kelasnya Desta…ibu tahu Desta ‘kan?”

“Ooh…anak yang mengaku suka pesta itu…”


Mia mengangguk. Lalu ia meminta ijin untuk bermain piano, aransemen baru sudah ada di kepalanya. Setelah ganti baju, ia menuju ruangan luas itu dan mulai menekan tuts piano dengan irama lembut.


“Untuk kakak…keluargaku, keluarga baruku, dan…”


Perlahan ia memainkan nada-nada minor, lalu ia mengucapkan sesuatu.


“Untuk cinta pertamaku…”


Permainan minor itu mulai terdengar cepat, tapi Mia mulai memelankan suara dentingan itu agar terdengar lembut. Sesekali ia memainkan nada mayor yang gembira, menggambarkan hatinya yang bahagia sekarang. Lalu, dentingan piano itu semakin lambat saat Mia tersadar sebelah tangannya memegangi kepalanya yang mendadak pening. Perlahan ia berbicara, namun tubuhnya yang kehilangan keseimbangan terjatuh lemas.


“Si…apa…?”


Pandangannya kosong dan Mia tak sadarkan diri.

***

“Shiroi! Kenapa kau malah mengajakku ke sini sih?”

“…”

“Orang serumah bisa panik tahu!”


Perlahan ruangan itu terang, ruangan luas yang berupa wujud dimensi lain itu tampak seperti kamar, lantainya seperti air dan ada tumbuhan air berbentuk unik di setiap sudut ruangan itu. Kamar itu lengkap dengan kasur besar dan piano yang dialasi karpet oval. Tidak ada pintu di kamar itu, hanya rak buku yang penuh dengan buku ensiklopedi yang menghiasi dinding kamar.


“…Ruangan ini luas sekali.”

“Ya, aku hanya mengajakmu jalan-jalan.”

“Nggak, pokoknya keluarkan aku dari sini, aku nggak mau di sini.”

*SRRRRT*

Grace muncul di tengah mereka, lalu ia menghampiri Mia.


“Ka…Kakak?!” Mia seolah tak percaya, tubuhnya hanya bisa diam di tempatnya berdiri.

“Mia, ini Grace…kamu tambah tinggi ya sekarang.”

“…Kenapa kakak bisa di sini? Bukannya kakak…”

“Memang hanya sementara, tapi aku bisa bertemu denganmu yang sekarang. Bagaimana soal tiga tahun itu?”

“Kakak yang menyuruh mereka?”


Grace mengangguk.


“Shiroi juga tahu soal ini?”

“Belum…”

“Selama tiga tahun itu aku mulai merasakan penderitaan.”

“Aku tahu itu, Mia…Lukamu masih berbekas ya?”

“Di sini.” Mia menunjuk bagian dekat tengkuknya.


Saat baru saja Mia hendak menunjukkan luka itu, Grace berlari ke arah Shiroi. Mia hanya bisa terpaku melihat kakaknya itu, ia tidak bisa membohongi perasaannya. Tapi, ia memilih untuk diam dan duduk di samping tempat tidur.


“Mia…” Grace membalikkan tubuhnya.

“…”

“Iya…aku mengerti kok, aku hanya menguji perasaanmu saja.”


Mia terdiam, di hatinya ia sudah mau mencekoki kakak angkatnya itu dengan basa basinya.


“Shiroi…aku sudah bukan tuanmu lagi, turuti saja perintah Mia…”

“…Baik.”

“Jaga dia…kalau sampai kau membunuhnya, aku juga bisa membunuhmu di sini.”

“…”

“Mengerti ‘kan?”

“Ya…”

“Aku sudah tidak layak untuk memerintahmu lagi sekarang, mungkin kau sekarang bisa bersenang-senang karena Mia bukan tipe orang yang suka menyuruh-nyuruh.”

“…”

“Aku pergi sebentar lagi…tolong anggap dia sebagai adikmu.”

“Kenapa?”

“Sekuat apapun ia menamparmu, jika kau menamparnya ia akan terjatuh. Fisik tubuhnya lemah.”


Setelah berkata-kata, Grace menghampiri Mia diikuti Shiroi.


“Aku tak bisa lama-lama di sini, aku juga akan terus memantaumu.”

“…”

“Satu lagi…Shiroi akan menurut…jika kamu memintanya menggendongmu sekalipun.”

“Haah?!” Mia hanya bisa memandang heran, Shiroi sendiri hanya tertawa kecil.

“…Sudah ya, maaf aku agak mengganggumu…terimakasih permainan pianonya…”

“…Sama sama kak…”

***

Risa memasuki ruang piano sambil membawa makan siang dan jus jeruk untuk Mia. Alangkah terkejutnya wanita itu saat menemukan majikannya tak sadarkan diri di depan pianonya. Saking terkejutnya, makan siang Mia sampai terjatuh keras.

*PRAAAANG*

“Nona besar, bangun!”


Nafas Mia terhenti, saat tersadar wanita itu mulai terlihat panic dan berteriak meminta pertolongan, akhirnya Mia dipindahkan ke kamarnya, ibu angkatnya menemani Mia di samping tempat tidur, menunggu anak itu tersadar, hati ibu itu berdegup kencang.

***

“Shiroi, sekarang keluarkan aku dari sini.”

“Aku tidak bisa…”

“Kenapa? Ini sudah kesekian kalinya aku memerintahmu…harusnya kau sedikit senang.”

“Karena Grace muncul…ruangan ini jadi terganggu keseimbangannya.”


Mia mendekati Shiroi, membuat wajah laki-laki itu agak memerah, tapi ia berusaha tenang.


“Apa tidak ada cara lain selain mendorongku?”

“…”

“Shiroi…”

“Percuma, mau aku dorong berapa kali pun, kita harus menunggu satu jam.”

“Untuk keluar dari sini?”

“Ya…mau kudorong?”

“Terserah, asal aku bisa keluar!”


Shiroi mendorong Mia cukup keras, tapi Mia malah terjatuh dan tubuhnya tetap berada di ruangan itu. Badannya cukup sakit karena terjatuh, tapi ia sudah merasa percuma jika Shiroi mendorongnya sekali lagi. Baginya, satu jam yang sekarang harus lebih sebentar waktunya. Shiroi lantas berjalan mendekati Mia yang terjatuh, lalu mengulurkan tangannya.


“Makasih..” Mia balas mengulurkan tangannya dan mencoba berdiri.

“…”

“Ngg…apa salahnya kalau kau bercerita sedikit tentangmu?”

“Ya…hanya hal yang membuatku trauma.” Shiroi duduk di samping tempat tidur.

“Apa?”

“Adikku…”

“…”

“Sudahlah, rasanya itu bukan topik yang harus dibahas sekarang.”

“…Aku hanya meminta untuk menjelaskan statusmu sekarang.”

“…Aku hanya anak angkat, sama sepertimu.”

“Ya, soal itu aku sudah tahu.”

“…Katanya ada luka di dekat tengkukmu…mana?”

“Maaf, bukan aku melarangmu…sama seperti adikmu yang tidak boleh aku bicarakan lebih lanjut.”

“Ooh…kalau begitu…kamu punya seseorang yang kau sukai?”

Mia hanya menghela nafas…untuk apa orang ini bertanya tentang hal yang disembunyikannya...

“Ya…aku punya.”

“Sepertinya aku nggak perlu tahu orang itu siapa, ya ‘kan?

“Begitulah…tapi boleh aku tahu tubuh aslimu sadar atau tidak sekarang?”

“Di dimensi ini, hanya aku yang punya dua kesadaran itu, aku sedang makan siang.”

“Kok bisa?”

“Begitulah…seperti keistimewaanmu yang bisa muncul di sini dan hilang dalam bentuk kristal.”

“Kau suka musik?”

“Hanya menyukai permainan pianomu saat diam-diam memasuki rumahmu.” Shiroi sedikit tertawa.

“Untuk apa diam-diam? Kau mencuri barang ya?”

“Tidak, hanya bertamu bersama ibu angkatku.”


Mia beranjak lalu ia berjalan menuju piano di hadapannya. Ia membuka tutup piano itu dan memainkannya lembut. Di tengah permainannya, ia berbisik dalam hatinya.


“Untuk cinta pertamaku…Shiroi Wealth.”


Lalu ia melanjutkan permainan pianonya dengan lembut, Shiroi yang berada di belakang gadis itu memandangnya penuh kekaguman.

*TRIIIING*

***

Satu jam kemudian…

Perlahan Mia membuka matanya, ia tersadar saat berada di kamarnya. Selain itu, ada ibunya, pembantu-pembantunya, dan…


“Shiroi?! Kenapa dia bisa berada di sini?”

“Tadi ibu menelpon dia untuk menemani ibu, tapi ruangan ini jadi sesak gara-gara kamu pingsan ya…”


Mendengar perkataan ibunya, Mia hanya setengah tersenyum.


“Sudahlah, karena Mia sudah sadar, kalian bekerjalah kembali.”

“Baik.” Setelah itu, para pembantu pun meninggalkan kamar Mia.

“Karena tampaknya kamu sudah sadar…Shiroi boleh menemanimu ‘kan?”

“…”

***

Beberapa tahun yang lalu…


“Shiroi, jangan diam saja…”

“…”

“Bacakan aku buku cerita.” Perintah Grace.

“…Baiklah…”


Sambil mengambil buku di rak, Grace berbicara sendiri. Shiroi tidak mendengar pembicaraan itu, ia masih kecil dan sudah dianggap sebagai pembantu di rumah itu. Posisinya sebagai anak angkat keluarga tantenya Grace tampaknya hanya dianggap sebagai kiasan saja.


“Shiroi, aku punya teman…”

“…”

“Kau mendengarku tidak?” Kali ini Grace emosi.

“Aku dengar kok.”

“Kalau aku sedang bersama dengan anak itu, kamu nggak pernah tahu…Saat aku pergi ke danau, lalu menyebrangi jembatan…tapi tampaknya aku masih belum bahagia…”

“…”

“…Aku hanya punya teman dua orang, kamu dan adik angkatku itu.”

“…”

“Percuma ya, aku masih jadi korban gara-gara hartaku sendiri, hanya karena aku adalah pewaris murni.”

“…”

“Tapi suatu saat aku akan memberikannya kepada yang lebih mampu untuk mengembannya…adik kesayanganku…”

“Siapa dia?”

“Rahasia…maaf ya, plotnya kamu hanya tahu sampai sini.”

“Padahal aku hanya disuruh-suruh…”

“…Harusnya kau sedikit senang.”

“Kenapa?”

“Kalau tidak, kau bukan bagian keluarga kami…”

***

Ibunya meninggalkan mereka berdua di kamar. Awalnya Mia sempat akan menampar Shiroi. Tapi, Shiroi yang sudah tahu gelagatnya menahan tangan Mia sehingga gadis itu hanya terdiam.


“Akhirnya kamu tahu juga bagaimana kalau keluargaku sudah panik.”

“…”

“Maaf aku sudah merepotkanmu…maafkan Kak Grace juga ya?”


Shiroi tidak berani mengangkat kepalanya, bagaimana ia memaafkan majikannya yang dulu sering menyuruhnya? Hanya karena Grace sudah tiada, ia kembali ke kesenangannya. Tapi, Mia berbeda dengan Grace yang dulu.


“Shiroi…?”

“Hah? Aku sudah memaafkan dia…”

“…”


Mia terdiam sejenak, lalu ia turun dari tempat tidurnya. Tubuhnya masih lemas, lalu ia terjatuh sambil memegangi meja lampu. Saat Shiroi akan menolongnya untuk bangkit, matanya menangkap sesuatu di dekat tengkuk Mia, luka cambuk. Shiroi terkejut, tapi ia hanya bisa diam.


“Nggak…aku bisa bangkit sendiri.”

“…Itu…”

“Apa?”

“Bukan…ornamen jendela itu berubah dari beberapa tahun yang lalu.”

“Aku yang mengubah ini, supaya aku bisa melihat ke luar lebih jelas.” Mia lantas tersenyum.


Mia duduk di kursi dekat jendela yang besar itu. Jendela itu lebih banyak diubah, bentuknya sudah berlainan dari jendela-jendela lain yang ada di rumah itu. Mia mengambil lonceng kecil di mejanya, lalu membunyikannya. Tak lama, muncul pembantunya membawa dua cangkir teh.


“Makasih…nih, untuk Shiroi.”

“Terima kasih…” Shiroi menerima secangkir teh itu, lalu mendekati Mia yang memandangi sudut perkotaan.

“Sama sama…”

“…”

“Kalau saja aku tidak menjadi pengganti Grace…mungkin gedung-gedung pencakar langit itu sudah menjadi puing-puing yang disalahgunakan.”

“Kenapa?”

“Karena setiap orang tidak akan percaya pada orang lain lagi, mereka kehilangan kepercayaan yang telah direbut oleh orang yang memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri…”

“…”

“…Dan akhirnya, hanya satu rumah besar yang berdiri sebagai pihak yang masih bertahan dengan kejujurannya.”

“…Kalau begitu, aku akan menguji kejujuranmu, boleh?”

“Silahkan, aku akan jujur padamu sekarang…” Mia berharap Shiroi tidak menanyakan perasaannya.

“Soal luka di tengkuk itu…luka cambuk?”

“Iya…” Mia bisa sedikit bernafas lega.

“Bukannya kamu langsung tinggal di rumah ini…Kapan kamu mendapatkan luka itu?”

“…Selama tiga tahun aku tinggal di sebuah kampiun militer, tapi orang-orang mereka sudah dibunuh.”

“…”

“Aku bisa merasakan penderitaan mereka di sana, tidak ada rumah mewah…para pembantu, piano, dan…”

“…”

“…Aku harus bisa berdiri sendiri di tengah situasi apa pun.”

“Cambuk itu hukuman?”

“Ya, karena aku sangat menyukai piano dan memaksa untuk pulang, akhirnya mereka…”

“Melukaimu?”

“Ya…selama tiga tahun aku harus menderita tanpa mendengarkan permainanku sendiri.”

“Kau sudah makan siang?”

“Belum…aku baru sadar setelah kau mengajakku ke dimensi lain itu.”

“Grace mau bertemu…karena itu aku terpaksa mengajak kau ke sana.”

“…”


Mia kembali melihat sekeliling kota lewat jendelanya, melihat taman yang dulu dipakai menjadi jalan pintas ke rumahnya setelah bermain. Sekarang, taman itu hanya beberapa meter dari rumahnya yang sekarang. Rumahnya sendiri sudah rata dengan tanah. Lalu Mia menutup risleting jaketnya. Ingin rasanya ia dan Shiroi tetap berada di tempatnya sekarang.

“Aku ingin orang-orang yang berharga untukku kembali…karena aku bisa hidup sampai sekarang.”

***

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda mengenai posting di atas, terima kasih :)