Pages

Sabtu, 12 Juni 2010

(RED) Part 3: Talent

*BRAAAK*

“Ibu…aku berangkat yaa.” Mia menutup pintu mobil cukup keras.

“Iya, hati-hati di jalan ya…maaf mobilnya jadi sempit.”

“Iya…nggak apa kok bu…”


Lantas mereka melambai dan meninggalkan rumah Mia. Mobil rasanya agak sempit sekarang, walaupun sedan itu cukup luas…jok bagian depan diisi oleh supir—Leon dan Shiroi. Sementara bagian belakang diduduki Mia dan Desta, dua perempuan itu tampak asyik mengobrol, Mia berharap Desta tidak keceplosan ngobrol tentang Shiroi ataupun Leon walaupun rasanya mustahil karena dua orang itu pasti cukup menyimak apa yang dibicarakan mereka.


“Oya, katanya hari ini angket ekskul dibagikan ya?”

“Ya…minimal ketua kelas 10-1 ini jadi punya tugas tambahan…” Desta mendengus.

“Itu resiko kau jadi ketua kelas kan…sudahlah, nikmati saja tugasmu itu.”

“Heh, tapi bukan berarti kau sebagai wakilnya hanya bisa tinggal diam kaan?”

“Eh…iya sih, iya…aku siap bantu kok…”

“…”

“Kelihatannya kita sudah sampai.”


Gedung sekolah sudah terlihat, anak-anak lain terlihat berbaur sepanjang koridor saat mereka tiba. Begitu Shiroi datang bersama Mia, anak perempuan lain langsung mendatangi Shiroi.


“Adiik…pilih ekskul basket yaa.”

“Eeh…jangan…ensambel saja.” Selang seorang kakak kelas perempuan.

“Jangan…teater saja.” Selang yang lainnya.

“…”


Salah seorang kakak kelas itu ada yang sampai menggiring Shiroi, sampai menciptakan wajah sinis khas Mia yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Mia langsung memilih pergi dari kerumunan itu, beberapa kali ia sempat terseret arus, akhirnya ia berhasil keluar dari kerumunan kakak-kakak kelas perempuan itu. Tangannya agak mengepal, lalu ia beranjak ke koridor kelas, membanting tasnya ke bangku, lalu pergi ke ruang guru. Tanpa diketahuinya, seorang kakak kelas tengah memperhatikannya, lalu kakak kelas itu menyampaikan sesuatu yang tadi ia saksikan.


“Labrak saja, ia milikku.”

“Sierra, jangan berkata sembarangan…aku bisa saja mendukungmu…tapi anak-anak lain pasti…”

“Aku punya rencana…supaya kakak kelas yang lain mendukungku…”

“…”

“Kau tahu anak yang melempar tas tadi?”

“Ya…Mia Grace, wakil ketua kelas 10-1.”

“GRACE?! Katamu…”

“Ya, aku nggak salah.”

“Jadi…dia anak…”

“Memang, nama Grace dan Wealth adalah nama yang bertengger di jajaran keluarga kaya.”

“Hah…peduli, harta tidak ada artinya, bagaimanapun aku seniornya.”

“…”

***

“Bu Sinta, aku minta angket ekskul ya?”

“Oh Mia…kenapa cepat-cepat gitu?”

“Aku mau lihat daftarnya saja bu…boleh ‘kan?”

“Oh ya boleh…nak…”


Bu Sinta mengambil map di meja, lalu membukanya. Ada berbagai macam ekskul yang tercatat di sana, mulai olahraga sampai seni. Mia menjatuhkan pilihannya pada seni musik, berharap Shiroi akan menurut pada teman-temannya yang lebih suka tenis lapangan.


“Mia…”

“Ngg…ya bu?”

“…”

“Kenapa bu? Ada masalah?”

“Nggak…kamu sebaiknya hati-hati dalam bersikap, kamu punya hubungan apa dengan Shiroi?”

“Nggak ada…dia sahabatku saja.” Kata Mia cepat. Buat apa guru ini ingin tahu hubungan dia dengan Shiroi? Batinnya.

“Oh…ini hanya peringatan saja.”

“Emangnya kenapa bu?”

“Tampaknya kakak kelas hampir semuanya kagum sama dia, ibu hanya takut pada keselamatanmu saja.”

“…?”

“Takut kamu dilabrak pulang sekolah nanti…”

“Dilabrak?”

“Ya, mereka punya posisi di sekolah ini…tepatnya sebagai seniormu.”

“Aku tahu kalau aku harus menghargai senior.”

“…”

“Tapi ibu tidak usah khawatir keadaanku…”

“Jangan bertindak bodoh, kadang-kadang wali kelas juga ikut kena.”

“…Aku siap menanggungnya, ibu tenang saja.”

“…”

***

Siang itu di jam istirahat, angket mulai dibagikan. Saat mulai dikumpulkan, Desta yang memilih mengumpulkan angket murid perempuan karena kelewat gengsi untuk dekat-dekat dengan anak laki-laki kecuali supir pribadi Mia. Jadilah sekarang Mia kocar-kacir mencari anak laki-laki kelas 10-1 yang lebih sering berbaur dan berpencar saat istirahat. Seperti layaknya menyisir lokasi, setiap tempat seperti WC pun ia nekat untuk mengetuk pintunya. Keringat mulai membasahi dahinya, setelah hampir semuanya angket itu terkumpul. Tinggal satu, milik Shiroi. Tapi, tampaknya laki-laki itu ada di dekat kantin dan Mia enggan menghampirinya. Saat itu Desta menghampirinya sambil membawa setumpuk angket kelas mereka.


“Tinggal satu, kamu gih…”

“Pasti Shiroi, iya ‘kan?”

“Iya…seperti biasanya…”

“Kamu ini sahabatnya sendiri ‘kan? Terus ngapain banting tas tadi?”

“…”

“Ooh…iya…aku ngerti kok.”

“…”

“Baru jatuh cinta langsung dikomporin cemburu…dasar.”

“Berisik.”

“Samperin sana!”


Shiroi yang tahu Mia ada di balik koridor lantas berlari menuju tempat itu. Desta yang tidak tahu Shiroi tengah berlari ke situ untuk menyerahkan angket ekskulnya lalu membalikkan tubuh Mia dan mendorongnya ke arah Shiroi.


“Cepet sana!”

“Des…ja…”

*BRAAAK*

“Uups…”


Desta langsung kabur dengan muka innocent. Kertas-kertas yang sudah susah payah disusun berdasarkan urutan kini berantakan walaupun hanya separuhnya. Shiroi hanya mengaduh kesakitan sambil berusaha menyusun kembali kertas yang berserakan berdasarkan jenis ekskul, lalu menyisipkan kertas angketnya. Beruntung, kejadian ini tidak terlihat oleh kakak kelas yang kelas 11, hanya anak-anak kelas 12 yang selebihnya sudah mempunyai pacar. Sementara Shiroi membereskan kertas-kertas yang berserakan, Mia hanya berteriak tidak karuan membentak Desta walaupun anak itu benar-benar sudah pergi melarikan diri.


“DESTAAAAAAAA!!! HIDUNG SAYA MAU KAMU JONTORIN HAAAAH?!”

“Mia…”

“Apa? Beresin itu pokoknya, aku sudah capek menyusunnya…nyari-nyari sampai ujung langit…”

“Sudah kok…sudah kususun lagi…nih.”

“Oh…makasih ya.” Kata gadis itu jutek.

“…”


Mia perlahan berdiri sambil menerima kertas-kertas itu, lalu Shiroi berjalan berbarengan dengan perempuan itu. Sepanjang koridor, mereka sedikit membicarakan sesuatu. Desta “mengintai” mereka dari kejauhan.


“…”

“Mia, kamu ekskul apa?”

“…”

“Mi…”

“Ekskul latihan jadi brondong!” Balas gadis itu ketus.

“Kamu jawab yang bener dong…”

“Musik…saya risih ya liat muka kamu, sana ke lantai dua!”

“Ngapain?”

“Ngelayanin kakak-kakakmu…jangan ikuti saya lagi!”

“Tapi Mia…”

“SANA!”

“Aku nggak bermaksud jadi pacar mereka, Nona ngerti kan?”


Langkah Mia terhenti di depan pintu ruang guru. Lalu gadis itu menampar Shiroi sampai pipi laki-laki itu memerah. Bu Sinta yang melihatnya lalu menghampiri Mia.


“Ah…kebetulan bu, ini semuanya yang laki-laki…yang perempuan ada di Desta.”

“Kenapa dipisah? Terus ini…”

“Bagi tugas bu…”

“Kamu kok gitu sama anak laki-laki?” Kata Bu Sinta dengan nada membentak.

“Maaf…ini refleks…”

“Kamu perempuan ‘kan?”

“Ya…tapi apa saya harus tinggal diam jika tersakiti?” Mia hampir menangis.

“…”

“Nggak apa-apa bu…dia ada sedikit masalah di masa lalunya.” Kata Shiroi.

“Tapi nak…apa Mia…”


Belum selesai Bu Sinta berbicara, Shiroi memejamkan matanya. Mia langsung pingsan, tubuhnya ditahan oleh Shiroi agar tidak sampai terjatuh. Setelah Shiroi membuka matanya, guru itu langsung panik seakan beberapa detik sebelumnya waktu benar-benar terhenti. Setelah itu, muncul Desta dan Rika yang membantu menggotong Mia ke ruang kesehatan. Setelah menidurkan Mia, Rika dan Desta tidak lantas meninggalkan ruangan. Sementara Shiroi duduk di kursi, di dekat tempat tidur di ruang kesehatan.

***

Kamar yang terlihat luas perlahan terlihat nyata, Mia tengah berdiri di tengah kamar itu, sementara Shiroi tampak duduk di kursi yang lebih mirip dengan kursi kerajaan di hadapan gadis itu. Ada pandangan benci terhadap seseorang di hadapannya. Tapi, ia hanya bisa membisu, tangannya diborgol di belakang dengan borgol es, lalu gadis itu menjatuhkan diri, lalu merapatkan giginya,kali ini ia tidak mungkin memukul bahkan menampar orang yang ada di depannya.


“Apa maumu?”

“Dengarkan aku sebentar.”

“…Keluarkan aku, masih banyak pekerjaan yang lebih bagus untukku.”

“Tubuhmu sudah dipindahkan ke ruang kesehatan, kamu pingsan tadi.” Jelas Shiroi.

“…”

“Terserah mau kau bilang apa…”

“Oke, kamu ngijinin saya bicara sekarang, aku ingin pulang, keluarkan aku!”


Shiroi beranjak dari tempat duduknya, lalu berjongkok di hadapan Mia. Ia sedikit tersenyum.


“Aku nggak pernah niat pacaran dengan mereka, ngerti kan?”

Mia tidak berkata apa-apa, kepalanya terus menunduk.

“Mia…kau mendengarku?”

*SRRT*

*PLAAAAAK*

Seorang perempuan muncul tiba-tiba, langsung menampar Shiroi yang sedang berjongkok, kalau saja laki-laki itu tidak menjaga keseimbangan tubuhnya, ia pasti akan terjatuh.


“Shiroi, apa pesanku waktu itu?”

“Kak Grace?!” Kali ini Mia yang terkejut, lalu dengan kakinya ia berusaha mendekati Grace.

“Jaga dia.”

“Bodoh…menjaga perasaannya juga! Sampai diborgol seperti ini…”


Grace melepaskan borgol itu dengan memukul balok itu. Lalu, es itu langsung mencair. Mia langsung berdiri, sementara Shiroi tetap berjongkok. Grace lantas memeluk Mia. Mia menangis di pelukan kakak angkatnya itu. Lalu ia melepas pelukan itu dan memandang Shiroi dengan perasaan campur aduk. Wajahnya dingin, ia juga sedikit tersenyum sinis. Tapi, setelah melangkah beberapa langkah, airmatanya jatuh dan sedikit terisak, lantas ia menghampiri Shiroi, ia agak berjongkok. Kini wajah gadis itu tampak sembap.


“Maaf…”

“Nggak…Shiroi, aku nggak apa-apa…”


Mia lalu berjalan mundur, berupaya menjatuhkan tubuhnya ke arah belakang, seakan menganggap yang terakhir dipijaknya adalah ujung sebuah bangunan pencakar langit. Perlahan, tubuhnya menghilang, hingga serpihan kristal terakhir berubah menjadi debu, Shiroi dan Grace hanya terdiam.

***

Mia tersadar dari pingsan, ia menengok kesana kemari, hanya ada Rika di situ. Lalu Rika menyerahkan sebuah surat kaleng.


“Dari siapa?”

“Kakak kelas, maaf…kalau aku membacanya duluan, aku pasti…”

“Iya, aku juga tidak bisa memastikan kalau aku bisa bertahan hidup sampai besok…”

“Jangan putus asa begitu…mungkin mereka tidak seperti yang kau bayangkan.”

“Jangan terlalu sering nonton drama fiksi, aku yakin mereka memang punya rencana.”

“…”

“Bilang ke Shiroi kalau aku memaafkan dia.”

“Kau masih ingin menghindarinya?”

“…”


Rika menyodorkan cangkir berisi susu murni. Mia segera menghabiskan isi cangkir itu dan mengelap keringat dingin di wajahnya.


“Kamu nggak belajar?”

“Aku piket di ruangan ini sekarang, jadi aku sudah diberi ijin.”

“Oh…kamu ekskul apa?”

“Seni musik, aku suka main biola…sejak usia empat tahun, aku suka sekali dengan alat musik itu.”

“…Sama denganku.”

“Kau suka main apa?”

“Piano…entahlah, rasanya seperti meluapkan emosiku kalau memainkannya.”

“Keadaanmu sudah baikan?”

“Ya…sekitar lima menit lagi aku akan ke kelas…”


Perlahan Mia membuka kertas itu, lalu membaca surat yang hanya berupa perintah itu. Dugaannya benar, ia akan dilabrak…tepat setelah jam ekskul setelah bubar sekolah.

~KAMI TUNGGU KAU SETELAH EKSKUL SELESAI, MIA GRACE~

***

“Permisi…”


Mia masuk ke kelas, anak-anak perempuan langsung mengerumuninya. Tidak ada guru di kelas itu, tampaknya seorang guru telah absen dan meninggalkan perintah untuk mengerjakan tugas kepada mereka. Desta langsung menginterogasi Mia dengan berbagai macam pertanyaan.


“Des…?”

“Kamu nggak apa-apa kan? Pingsan nggak mati ‘kan? Terus…”

“Ini gara-gara kamu jontorin hidungku tahu!”

“Maaf…hehehe, tapi kamu udah baikan sama…”

“Aku sudah memaafkannya, tapi aku nggak bisa menjamin kalau besok kalian bisa bertemu denganku lagi…”

“Ke…Kenapa?”

“Nggak…”


Semua anak-anak mengerumuni Mia, hanya Shiroi yang tetap diam di bangkunya. Mia segera duduk di bangkunya, masih dikerumuni teman-temannya, termasuk anak laki-laki. Desta berdiri di depan Mia, menghadap perempuan itu dan berharap jujur. Tak lama, seorang anak laki-laki tiba-tiba nyeletuk, hal yang tidak pernah diduga Mia sebelumnya.


“…”

“Kamu bakal dilabrak kakak kelas?”

“…”

“Mia, plis…jujur aja, kita siap bantu kok…” Bujuk Desta sambil sekilas memandang sinis Shiroi.

“Iya…tapi bantu apa? Aku nggak tahu bakal dilabrak di mana, dan kalian nggak mungkin ngikutin karena harus aku sendirian.”

“Tapi mungkin kami bisa mengawasimu selama kamu ekskul.”

“…Makasih…teman-teman semuanya…”

***

Saat Mia memikirkan surat kaleng itu di ruang musik, seorang guru seni musik masuk, usianya dapat dipastikan kalau bapak itu sudah kepala empat. Mia, Rika, dan Desta hanya bisa melihat guru itu dengan wajah penuh keyakinan. Guru ini pengalamannya pasti sudah sangat banyak. Saat melihat Desta masuk ke ruangan ini sebelumnya, ia cukup terkejut, Desta tidak pernah sekalipun bercerita padanya tentang hobinya main gitar akustik. Karena itulah, saat sebelumnya Desta memperdengarkan permainannya, Mia hanya melihatnya dan mencoba memahami tanpa berkata apa-apa.


“Selamat sore…anak-anak.”

“Sore pak…”

“Hari ini…bapak akan mengajarkan kalian mengenai kolaborasi.”


Pelajaran itu berlangsung agak lama. Desta memainkan beberapa lagu klasik dan instrumen buatannya sendiri, Rika memainkan biolanya dengan tempo yang bervariasi, sementara Mia mencoba mengiringi mereka dengan permainannya. Sebenarnya, semua alat musik yang berada di ruangan itu adalah milik sekolah. Mia memperhatikan piano itu, warnanya putih dengan ornamen berwarna emas di kaki dan tempat partiturnya, senada dengan tempat yang ia duduki sekarang. Tampaknya, piano ini dibuat sepaket dengan tempat duduknya. Lalu beralih ke gitar akustik yang dimainkan Desta, warnanya cokelat muda dengan equalizer di dekat senarnya, bodinya agak tipis. Awalnya suaranya terdengar kurang lembut sehingga gadis itu menyetemnya agak lama, berhubung ruangan itu sejak tadi memang ribut, entah yang sedang mencoba alat musik, maupun mengobrol dengan temannya. Sementara itu, Rika terlihat sejenak memperhatikan biola yang dimainkannya. Bentuk biola itu tampak seperti rangkanya saja, hanya saja warnanya putih, demikian dengan penggeseknya. Tampaknya, semua alat musik yang ada di ruangan ini harganya sangat mahal. Mereka hanya mendapat akses masuk untuk pelajaran kesenian dan ekskul karena ruangan itu kerap kali dikunci agar peralatan yang ada di dalamnya tidak diganggu. Tapi, ada beberapa kakak kelas yang diberi akses masuk, walaupun Mia tidak tahu semua itu, walaupun di ekskulnya sekarang, tidak ada seorangpun yang menjadi seniornya.

***

Mia keluar dari ruang musik, ia pergi ke WC, dan sebentar kemudian ia keluar saat kakak kelas itu mencegatnya. Mia tidak berkata apapun, ia harap teman-temannya segera mengetahui posisinya sekarang. Setidaknya, seseorang yang diharapkannya datang tidak mungkin akan menolongnya di dalam keadaannya yang terhimpit sekarang ini.


“…”

“Mia, ikut kami!”

“Ke…”

“SUDAH! JANGAN BANYAK OMONG, CEPAT!”


Kakak kelas itu langsung menggusur Mia ke sebuah tempat sepi. Ini bukan ruang seni musik, ruangan ini jauh lebih luas dari ruang seni musik. Ini adalah ruang teater, biasanya ruangan ini dipakai juga untuk pertunjukan bahkan festival sekolah.

*BRAAAAK*

Mia didorong ke tembok, ia segera menghindari kepalanya terbentur dan segera menumpu dengan kedua tangannya. Lalu, ia melepaskan tas selempangnya agar ia bisa bergerak bebas.


“Kalau kamu pacar Shiroi, putusin dia sekarang!”


Mia menatap kakak kelas itu, akibat ulah bodohnya tadi, posisinya sebagai murid di sekolah ini pun terancam. Di tangan kakak kelasnya itu terdapat kertas surat ijin pindah sekolah. Ini gara-gara ia menyukai Shiroi! Gara-gara dia! Batinnya.


“Kak Sierra, saya nggak pernah ada hubungan apapun dengan dia.” Kata Mia tegas.

“Aku suka dia, dia incaranku…KAMU NGGAK PUNYA MUKA YA ADIK KELAS?!”


Sierra menampar Mia keras, tampaknya kondisi ini akan semakin memburuk. Mia berharap Shiroi tidak memanggilnya ke dimensi lain, atau fisiknya tiba-tiba melemah. Ia berharap teman-temannya cepat ke sini. Sekarang, ia tidak mungkin meraih handphonenya di dalam tas.


“Kakak sok berkuasa ya?”

“DIAM KAU!!! HARTA NGGAK ADA APA-APANYA DI DEPAN SENIOR!!!”

“Oke…kalau kakak bertindak lebih dari ini, apa itu pantas sebagai senior yang berobsesi akan haknya?”


Mia mencoba menggertak, menyebabkan Sierra merasa panas dan melayangkan tendangan ke ulu hati Mia. Tapi, tendangan itu bisa terhindarkan, kecuali pukulan beruntun ke bahunya. Mia terjatuh.


“Sebagai kakak kelas, AKU PUNYA POSISI DI SINI!!!”


Mia meringis menahan sakit. Sekarang kakak kelas itu mengeluarkan pisau kecil dari sakunya, bentuk asli benda itu adalah sebuah gunting kuku, tapi di baliknya ada sebuah pisau untuk mengikir, dan jelas dari kilatan cahaya yang memantul dari sebuah lampu pertunjukan yang menyimpulkan pisau itu tajam. Mia mencoba berdiri sambil bersandar ke tembok, ia berjalan maju. Tidak menghiraukan apakah ada pisau yang akan melukai wajahnya sekalipun.


“Maaf, tapi posisi di sini sekarang adalah sesama perempuan, sebagai perempuan…aku juga punya hak azasi…Aku harap…”

*BUAAAAK*

*BRAAAK*

Kakak kelas itu menonjok wajah dan mendorong tubuh Mia sampai terbentur lagi ke tembok. Kali ini Mia tidak bisa menahan kepalanya terbentur keras, sehingga mempengaruhi alam bawah sadarnya.

***

Di kegelapan ini, hanya ada Mia, tiba-tiba muncul Grace di sampingnya. Mia hanya bisa terduduk dengan luka membiru di pipinya, namun tidak ada benjolan di kepalanya walaupun ia terbentur keras tadi.


“K…Kak…”

“Anak itu keterlaluan, aku jadi ingin menghajarnya.”

“Nggak…kak…jangan…”

“Aku pinjam tubuhmu!”

“Jangan kak…”

“…Kalau lebih dari ini…kamu akan…”

“Panggil Shiroi, itu lebih baik!”

“Kau masih berharap sesuatu darinya?”

“…”

“Kamu pingsan, kamu harus segera bangun atau…pisau itu…”

“…”

“Jarak orang itu mendekat, Mia…”

“Panggil Shiroi kak…”

“Masabodoh! Bangun! Ayo sadaaaaar!!!” Grace mengguncang tubuh Mia, lalu memukul bagian belakang leher gadis itu.

***

Saat pisau itu akan dilayangkan, saat itu Mia menahan tangan kakak kelasnya itu dengan tangannya sendiri, lalu ia bangun dan balik menodong orang di hadapannya dengan pisau itu.

*BRAAAAAAAAAK*

“MIA!!!” Shiroi berlari dari balik pintu yang sekuat tenaga ia dobrak, lalu masuklah Desta dan teman-temannya.

“…Harusnya, kakak yang mendapatkan penderitaanku…”

“…Hng…?!”

“Kakak seperti orang yang harus direhabilitasi sekarang…”

“…Kk…Kau bawa te…m…” Sierra menahan pisau itu sementara Mia terus mendorong tangannya.

“…”


Lantas Shiroi menarik tangan Mia ke belakang dan menjaga keseimbangan tubuh gadis itu, lalu seorang teman Shiroi memisahkan Sierra dan Mia dan merampas gunting kuku itu dari tangan kakak kelasnya.


“Kamu...apa-apaan ini?!”

“…”

*PLAAAAK*

Sekali lagi telapak tangan Mia sampai ke pipi Shiroi, telak.


“Ini gara-gara kau tahu! Kenapa aku harus gini…gara-gara tadi berangkat bareng!”

“…”

“Po..Pokoknya…AKU NGGAK AKAN!!! NGGAK AKAN…!!!” Mia berontak, tapi Shiroi cukup kuat menahan tangannya.

“Teman-teman semua datang demi keselamatanmu tahu!” Giliran Desta yang sewot.

“Ma…ka…”

“Mia?” Shiroi membaca wajah Mia yang pucat sekarang. Lalu Mia menarik nafasnya cukup dalam.

“Makasih teman-teman semuanya…Mia senang sekali!” Mia berusaha untuk tersenyum, sejenak mengingatkan Shiroi akan masa lalunya, saat bertemu anak itu di taman.

*BRUUK* Mia akhirnya jatuh pingsan.

***

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda mengenai posting di atas, terima kasih :)