Pages

Minggu, 20 Juni 2010

(RED) Part 5: Unfortunatelly

Jam istirahat, Mia bersandar di koridor sambil sibuk membetulkan jas dan dasinya. Hari ini seragam murid perempuan memang disamakan dengan murid laki-laki, kecuali rok dan celana panjang. Pada hari itu, Desta membawa bekal roti isi krim seperti biasanya. Mereka bersandar di koridor dekat jendela kelas.


“Nanti ulangan biologi ya?” Tanya Desta.

“Yaah…lebih bagus begitu, ngapalin sana!”

“Yaelah…kamu baru beberapa pekan feminin jadi gini lagi…”

“Ini bukan masalah feminin atau nggak, ini penegasan Des…”

“Ehm…iya ntar ngapalin.”

“Bagus, cepetan makannya.”

“Ngomong-ngomong…”

“…?”

“Kamu pacaran ya sama Shiroi? Kayak gimanaa gitu…”

“Ngg…nggak kok, biasa aja. Hubungan biasa…ngg…yaa…sahabat.”

“Pura-pura yaa?”

“Ng…nggak…” Mukanya agak memerah. Tanpa sadar, bandul kalung itu hampir terlihat, namun terhalang kerah kemejanya.

“Merah tuuh.”

“Haah?!”


Mendengar itu, Desta mengangguk sambil tersenyum kecil. Sementara itu, Mia cepat-cepat berlari ke arah WC karena penasaran ingin melihat mukanya sekarang.Sayangnya…

*BRAAAAK*

Tanpa disadari, bandul itu terlihat jelas sekarang, kalungnya sudah ada di luar kemeja. Mia agak beruntung, ia bertabrakan dengan Shiroi. Walaupun pada akhirnya ia buru-buru masuk ke WC dan mencuci mukanya. Shiroi sendiri menunggunya di luar pintu.


“Shiroiii…sampai kapan…”

“Masukin ituuu…!”

“Apanya?”

“I…tuuu…!”

“Apaan? Buku biologiku mana?”

“Ada…pokoknya ituu…kalo ketahuan gimana?”

“Apa sih? Nggak jelas gitu…”

“Kalung…nonaaaaa…!”


Shiroi akhirnya yang memasukkan bandul itu ke dalam kerah. Mia yang baru sadar segera merapikan talinya, mengambil bukunya dan balik lagi ke WC, ia mencuci mukanya lagi. Lalu ia kembali ke koridor.


“Mia!”

“Ng…Dita?”

“Iya, kalian masih istirahat kan?”

“Belum bel, jadi kami menunggu di sini.”

“Ooh, tadi ada pengumuman, Bu Mira lagi ada rapat dulu, mungkin ulangannya agak ngaret.”

Desta bernafas lega, sementara Mia mengiyakan. Tak lama, ia kembali duduk di bangku dan membaca buku lagi.

***

Ulangan tadi berjalan lancar, setidaknya mereka mendapat waktu tambahan untuk membaca ulang bagian II. Saat memikirkan ulangan tadi, bel pulang langsung berbunyi. Setelah membereskan kelas dan mematikan alat-alat yang mempunyai hubungan listrik, anak-anak langsung berhamburan menuju ruangan loker. Mia yang terakhir keluar segera menutup pintu, ia mengikuti Desta yang langsung menuju ruangan musik, hari ini mereka ada jadwal ekskul.


“Des, bener nggak sih soal instrumen drama itu?”


Tanya Mia sambil melepas jasnya, setelah mengendorkan dasinya, ia membuka kancing atas kemejanya, ternyata ia memekai kaus lagi di dalamnya.


“Katanya sih…Rika dan Dio juga ikut.”

“Dio?”

“Murid pindahan.”

“Perempuan?”

“Laki-laki laah…instrumennya synthesizer.”

“Padahal kalau drama, synth itu juga cukup.”

“Itu…mirip piano kan?”

“Ya, tapi suaranya bisa bermacam-macam.”

“…”

“Yaah sepertinya anak itu hebat.” Kata Mia kemudian. Lalu, ia mengangkat rambutnya, tanpa sadar ia menyentuh tali kalung itu yang menyebabkan kalungnya kembali terlihat jelas dengan bandul yang terbalik. Mia mengikat rambutnya, lalu mengeluarkan kipasnya dari tas.

“Mia?”

“Apa?” Mia mengipas-ngipas, ruangan itu tidak ber-AC, hanya terdapat banyak jendela. Sepertinya bentuk asli ruangan ini belum dirubah total sejak generasi yang lalu.

“Kamu…pacaran sama Shiroi?”


Mendengar itu, Mia hanya menggeleng. Bukannya enggan mengaku, tapi ia langsung menyembunyikan bandul kalung itu saat sadar.


“Bener nih?”

“Emang kenapa?”

“Terus tulisan di kalung itu jelas Shiroi kan?”

“Ya.”

“Apa itu…”

“Itu pemberiannya.”

“Nah, ngaku juga!”

“Bukaan...ya sudah, rahasia ya?”

“Iyaaaa…..!!!”

*KRIEET*

“Mia, Desta…kenalkan ini Dio, rekan kita yang akan ikut berperan di balik layar.”

“Layar? Bukannya drama itu ditayangkan di TV?” Desta sewot duluan.

“Des…!” Mia menyenggol lengan Desta.

“Iya, di TV juga layar perak kan?” Rika mengoreksi perkataannya.

“Aa…maaf ya, silahkan masuk…”


Mia mempersilahkan mereka masuk sementara menunggu guru pembimbing. Setelah Rika membuka jendela, Mia menutup kembali kancing kemejanya dan membiarkan rambutnya terurai. Tak lama, ia beralih ke bangku untuk main piano sambil merapikan dasinya.


“Rika, bawa biola itu?”

“Ya, enakan punya sendiri ‘kan…”


Rika memandangi biola milik sekolah yang hanya berupa “rangkanya” saja. Dalam hatinya, banyak kenangan yang dilaluinya. Hanya saja, sejak beberapa hari sebelum festival dan selanjutnya, ia memainkan biola yang dibelinya saat Mia memutuskan untuk menjadi gadis yang feminin.


“Ini…Dio?” Tanya Mia pada anak itu.

“Ya, ini kak Mia ya?”

“Ya,...kamu sendiri menguasai synth 'kan?”

“Sedikit. Ayah kakak pianis ya?”

“Ya…kok tahu?”

“Aku pernah berguru pada ayah kakak.”

“…”

***

Terdengar suara yang agak aneh dari biasanya di ruang piano, tampaknya seorang anak laki-laki yang tengah belajar. Mia yang asing dengan suara itu segera turun dari lantai dua. Hanya beberapa menit sebelum ia akan bertemu dengan Grace di taman bermain, rencananya mereka akan mengunjungi sebuah mal. Karena memastikan yang main piano bukan ayahnya, ia langsung berlari ke ruang piano.

“Mia, ada apa?” Tanya ayahnya.


“…”

“Ooh ini…murid baru ayah.”

“Mia pergi dulu yah…”

“Ke mana lagi? Sekolah libur kan?”

“Kakak.”

“Oh, hati-hati ya.”

“Baik, ayah.”


Sebenarnya, Mia akan pergi beberapa menit lagi, hanya saja ia tidak terlalu betah di rumahnya. Ayahnya sendiri sekarang malah mencurahkan perhatiannya pada murid barunya, sementara ibunya sibuk mengurus pekerjaannya sebagai desainer. Karena itu, kadang suasana di rumah Mia berubah-ubah. Terkadang sepi, terkadang ricuh karena deadline 24 jam, dan kadang rumah itu tidak menandakan “adanya” kehidupan alias benar-benar tidak ada suara sedikitpun.

***

“Kakak?”

“…”

“Kok melamun?”

“Enggak…hanya mengingat masa laluku saja.”

“…?”

“Tidak…tidak usah dipikirkan terlalu jauh…” Mia mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Ayah kakak sekarang ada di rumah?”

“…” Mia menggeleng.

“Ka…”


Mia merasa masa lalunya hanya menambah penderitaannya, ia terdiam sampai latihan dimulai.

***

Beberapa hari setelah pementasan drama…

*BRAAAK*

Shiroi dan anak-anak yang lain muncul di pintu ruang seni musik. Insting aneh tiba-tiba muncul di benak Mia. Ia merasa sesuatu yang buruk telah terjadi, walaupun dugaannya meleset sebelum ia mengetahui sesuatu yang terselubung di balik semua ini.


“Kak Sierra mau minta maaf padamu.” Kata Dhita cepat.

“Kamu ditunggu di ruang Konseling.” Lanjut Rio.

“Konseling?” Mia masih merasa aneh dengan situasi sekarang.

“Yaa…mungkin itu yang terbaik, coba kamu ke sana.”


Desta langsung menyuruh Mia, padahal sebenarnya ia sendiri ragu karena Shiroi yang membuka pintu ruangan itu tidak berbicara sejak tadi. Tapi ia ingin acara damai berlangsung secepatnya, karena Sierra akan dipindahkan sekolahnya.


“Oke, aku ke sana.”


Ada hal yang aneh, teman-temannya tidak mengikuti. Desta yang mengendap-endap mengikuti pun diseret Rio, menyebabkan Shiroi turun tangan untuk menahan tangan Desta. Desta yang ogah dengan anak laki-laki terpaksa diam sekarang.

***

Mia masuk ruang konseling, dia sendiri belum yakin apakah insting anehnya itu benar. Tiba-tiba…

*PLAAAK*

*BRUUUUUK*

“Sayang sekali, hidupmu hanya sampai di sini…”


Sierra tersenyum sinis. Sekarang, Mia tidak sadarkan diri setelah kepalanya membentur lantai, semua kesadarannya lenyap. Sudah lama Sierra ingin mencampuri urusan keluarga Grace, obsesinya sejak dulu adalah merebut semua hak Grace. Keluarganya adalah grup perusahaan software terbesar yang akhirnya bangkrut karena keberadaan keluarga Grace. Sebenarnya, kakaknya dulu adalah teman sekelas Grace yang terganggu dengan sikap Grace yang arogan. Keluarga ini mempunyai kekerabatan yang erat dengan suami Tante Risa, tanpa diketahui oleh semuanya.

***

“SIERRA KURANG AJAAAR!!!”


Teriakan itu terdengar jelas di telinga Mia, di alam bawah sadarnya. Sudah jelas itu suaranya Grace. Tak lama, ruangan itu semakin terang, namun hanya redup yang ada di mata Mia sekarang.


“Kak Grace!”

“MIA, KAMU ITU…NGGAK NYADAR KAMU UDAH MAU MATI HAAAH??!!!”

“…”

“KAMU BISA RELAIN SHIROI? KALAU SIERRA JADIAN SAMA DIA, AKU…AKU BAKAL PINJAM TUBUH KAMU, MIA, BUAT BUNUH…DIA!!!”

“Kak…jangan bicara begitu…”

“…”

“Mia, kamu nggak boleh mati, pokoknya…jangan mati…pokoknya…”

“Kak…tenang…aku nggak akan mati secepat itu.”

“GIMANA AKU BISA TENANG, BODOH!!!”

“…”

“Cuma hasutan satu aja, mereka nurut…DASAR SHIROI BODOH!!!”

“Kakak…”

“TANTE RISA KENAPA NGGAK CERAIKAN AJA SIH??? LAKI-LAKI BANYAK!!!”

“Kakak…kuping aku sakit, jangan teriak terus…”

“…Pokoknya kamu diam di sini dulu, siapa tahu ada sukarelawan dalam lima menit ini…”

“Bukan Shiroi ‘kan?”

“Nggak, aku akan menyadarkan dia…kamu punya teman akrab kan?”

“Desta, dia yang paling dekat denganku.”

“…Kamu diam di situ, kalau Shiroi menghampirimu…jangan bergerak.”

“…?”

“Kamu harus seperti patung, ingat itu!”

“Baik kak…”


Mia kembali ke posisi tidurnya, lalu ia terdiam dan tubuhnya perlahan membeku seolah ia tidak bernyawa lagi. Grace segera berlari ke dekat dinding dimensi itu, lalu memanggil Desta.

***

“Desta…mundur…Des…anggap badan Rio itu dinding sebuah dimensi…” Suara itu terdengar jelas di telinga Desta.

“Siapa kau?”


Desta berteriak dalam hatinya, ingin ia menghindar dari laki-laki itu, tapi malah ada yang menyuruhnya untuk mendekati Rio dengan menghempaskan tubuhnya ke badan laki-laki itu.


“Nanti…akan kubantu kau melepaskan diri darinya, bagaimana? Pokoknya, turuti aku kalau kau ingin cepat menolong Mia. Mia kehilangan ingatan!”

“APA?! Siapa kau? Kenapa…”

“Mundur bodoh!”


Refleks, Desta menghempaskan tubuhnya, membuat laki-laki itu kaget setengah mati karena Desta seakan menghempaskan tubuhnya ke sebuah dinding. Lalu, Desta pingsan sesaat.

***

Mata Mia terbuka jelas, Shiroi menghampirinya. Namun, gadis itu tidak peduli. Kini, di dimensi itu tercipta sebuah dinding berupa kristal transparan yang tipis, di depannya ada bayang-bayang tubuh Desta, lalu Grace masuk ke tubuh Desta melalui dinding tipis itu.


“Mia?”

“…”


Shiroi duduk di samping Mia yang terbaring di karpet di dekat piano. Tak lama, Grace mengatakan sesuatu.


“Kalau kau mau selamat, lupakan Shiroi…katakan itu!”


Pandangan Mia kosong, ia merasakan bagian tubuhnya perlahan menghilang. Shiroi masih memandanginya. Mia bisa mendengarkan kata-kata di dalam hati laki-laki itu walaupun ia terdiam.


“Aku terhasut, payah!”

***

Mata Desta terbuka, perlahan ia bisa melihat jelas sosoknya sekarang. Jelas bahwa Grace “masuk” ke dalam tubuhnya dan menguasai semuanya sehingga Desta yang asli tidak bisa berkata apa-apa, hanya keadaannya yang tidak sadar dalam keadaan terkurung di dimensi itu. Grace yang menggunakan Desta terbangun, lalu memberontak dan akhirnya lepas dari genggaman Rio.


“Shiroi, cepat! Mia sudah…”

“Desta? Kamu…”

“Grace…” Bisiknya di telinga Shiroi jelas.

“Nona Grace?”

“CEPAT!”

***

“Shi…roi…”

“…?”

“A…ku…minta maaf…”

“…”

“Maaf aku akan melupakanmu…kapan-kapan…”

“…?”

“Kapan-kapan…kita…bisa ber…temu…lagi…”

“Mia Grace?”

“Aku…Mia Concourie…aku hanya ingat namaku saja…”

“Siapa aku?”


Mia menggeleng, ia berusaha untuk tidak mengingat siapapun, termasuk kenapa kalung itu bisa melingkar di lehernya, kenapa ia bisa kehilangan ingatan, orangtuanya dan orangtua angkatnya, juga sahabat yang selama ini selalu menyemangatinya.

***

Semuanya kembali putih…seperti kertas kosong yang tidak pernah diberikan tulisan apapun, hanya buku hariannya yang bisa membuat ia bertanya-tanya mengapa semua itu terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda mengenai posting di atas, terima kasih :)