Pages

Selasa, 08 Juni 2010

(RED) Part 2: Survive

Keesokan harinya, Mia sampai di sekolah yang belum terlihat ramai. Semalam Shiroi hanya menumpang makan malam di rumahnya lalu ia pulang dijemput tante Risa. Mia segera masuk ke kelas. Suasana kelas tampak sepi, hanya tiba-tiba ada seekor kucing ras angora yang melompat ke dalam kelas melalui jendela, Mia yang setengah terkejut menggendong kucing itu. Tiba-tiba dari luar melayang sebuah tembakan, Mia cepat-cepat menunduk.


“Sial, umpan! Siapa???”


Tak ada jawaban, namun muncul di balik pintu kelas seorang pria berbadan tegap dan berpakaian serba hitam. Mia melepaskan kucing itu, lalu segera menghajar laki-laki itu. Setelah orang itu tidak berdaya lagi, Mia membawa orang itu ke tempat yang aman.


“Katakan, siapa yang menyuruhmu?”

“Tt…Tuan…”

“KATAKAN DENGAN JUJUR, KAU YANG MEMBUNUH GRACE ‘KAN?” Teriak Mia.

“Bu…Bukan…”

“BOHONG!!!” Mia menghajarnya agar pria itu buka mulut.

“Bukan aku…tapi kakakku…”

“DIAM!!! Sekarang juga, kau jangan pernah coba-coba mengintaiku lagi, INGAT ITU!!!”

“Bb…Baik…”


Setelah itu, Mia membiarkan pria itu kabur dari hadapannya. Tak lama, datanglah Desta. Ia mengenakan rompi dan tas selempang. Lalu ia menyusul Mia di koridor. Lalu mereka berjalan menuju kelas.


“Miaa!!!”

“…Desta?”

“Kau ini pagi sekali…sekolah kan masih sepi.”

“Iya, kamu juga sama saja kan?”

“Hahaha…tadinya aku berharap bertemu dengan supir pribadimu, sayang sekali tidak kesampaian ya…”

“Ooh…jadi kamu ada apa-apa ya sama supirku?”

“Bu…Bukan begitu, tapi semalam ia hanya menghubungiku via sms.”

“Cerita apa saja?”

“Yaah…Katanya semalam Shiroi ada di rumahmu, dia malah keheranan kalau majikannya sendiri…”

“Punya pacar? Maaf ya, tapi kemarin Shiroi datang untuk meminta maaf atas ulahnya kemarin.”

“Yakin nih kamu nggak punya perasaan sama dia? Dia kan tinggi, tampan, lalu…”

“Kamu suka dia, begitu?”

“Duuh, jangan suka memotong ucapanku dong! Aku belum selesai bicara, lagipula aku kan tidak suka padanya.”

“Jadi kamu suka supirku dong?”

“Sst…rahasia ya?”

“Iya iya…”


Desta meletakkan tasnya di bangkunya. Lantas Mia mendapat sebuah ide.


“Des, ngobrolnya di luar yuk?”

“Boleh…di mana?”

“Di bangku di bawah pohon di dekat lapang tenis, mau nggak?”

“Kamu duluan deh, aku mau beres-beres sebentar.”

“Dasar, apik kamu tuh ga ketulungan ya…kamu nyusul ya? Aku duluan yaa…”

“Oke, nanti aku menyu…”

*DUAAAKK*

“Heh!!! Kalo jalan pake mata dong!”

“Maaf…Nona…”

“Shiroi!?” Mia segera menggaet laki-laki itu ke koridor.

“…Mia, maaf.” Shiroi hanya bisa bersandar di koridor yang cukup jauh dari kelas mereka.

“Kamu ngapain sih? Nggak bilang permisi lagi!”

“Mia juga nyelonong aja kan?”

“CUKUP! Iya, aku minta maaf…”

“Tapi kamu nggak apa-apa kan?” Shiroi menggenggam tangan Mia.

“Nggak…Kamu ngapain pegang-pegang tangan gini?!” Mia melepas paksa tangannya.

“…”

“Kembalilah ke kelas, aku mau ngobrol-ngobrol sama Desta.”

“Di mana?”

“Nggak usah tau, jangan ngeganggu urusan perempuan dong.”

“Iya deh…”

Shiroi meninggalkan Mia, tak jauh dari situ Desta tampak tersenyum melihat tingkah mereka. Lalu ia menyusul Mia yang berjalan menuju lapang tenis.

“Desta.” Shiroi mencegatnya.

“Apa?”

“Apa ada yang kurang dariku?”

“Iya, selama kamu nggak bisa pacaran sama Mia…” Kata Desta cuek.

“…”


Lantas Desta meninggalkan laki-laki itu dan berjalan ke lapang tenis. Di sana Mia sudah menunggunya, gadis itu tampak memandang ke arah lapang tenis.


“Mia.”

“Desta, kamu dicegat Shiroi ya?”

“Cemburu?”

“Nggak…dia tanya apa saja?” Mia sedikit berbohong.

“Jujur deh, kamu suka dia ya?”

“…”

“Mia?”

“Iya, aku suka Shiroi, puas?”

“Aduh, jangan marah dong…sesame cewek ini kok, lagipula aku juga suka supir pribadimu…”

“Haah…kau ini, aku juga sudah tahu itu.”

“Rahasia ya?”

“Yang aku juga…oke?”

“Oke!” Desta mengedipkan sebelah matanya.

“Kamu jangan coba-coba bilang suka pada supirku, tampaknya sampai sekarang dia belum mengerti perasaanmu.”

“Hah? Kenapa?”

“Dia itu seperti yang tidak pernah mengalami jatuh cinta sebelumnya, tidak seperti kita.”

“Aku juga heran punya perasaan seperti ini, aku juga bingung untuk mengungkapkan perasaanku padanya.”

“Aku juga…”

“Oya, sepertinya tadi Shiroi memang sengaja menabrakmu tuh…”

“Masa?”

Tiba-tiba Shiroi muncul bersama anak laki-laki lainnya.

“Ahem! Kalian sedang apa?”

“Shiroi? Oh…kami sedang mengobrol, semoga hari ini menyenangkan.” Kata Mia polos.

“Kalian ngapain ke sini? Ini area cewek tahu!” Kata Desta jutek.

“Wah, kata siapa? Ini tempat kami main tenis.”

“Oh…ya sudahlah, lebih baik kami yang pergi.”

“Mia…” Desta yang kelewat gengsi enggan meninggalkan tempat itu.

“…”

“Oke…oke…bagaimana kalau kalian mengobrol di sini saja, tempat ini kan mengelilingi pohon.”

“Tidak…tadinya aku hanya mau mengobrol sedikit dengan Mia.”

“Cih…sana berdua kalau mau pedekate!”

“Des…udah deh…”

“…”

“Desta?”

“Kita lanjutkan di kelas.”

Desta berjalan cepat ke arah kelas. Tak lama, Mia mengikutinya dan berlari menyusul Desta. Sementara itu, Shiroi dan teman-temannya langsung sibuk membicarakan sesuatu di tempat tadi.

“Desta, kamu marah?”

“…Nggak, Mia…”

“Kenapa jutek gitu?” Mia lantas duduk di bangkunya.

“Maaf, tapi aku memang jutek di depan laki-laki…hahaha.”

“Kecuali di depan supirku…”

“Kauuu…”

“Teman yang lain sudah datang tuh, kita bicara yang lain saja ya?”

“Boleh…”


Mereka kini tengah membicarakan sesuatu, sesekali Mia dan Desta tertawa. Saat Shiroi masuk pun mereka masih asyik membicarakan sesuatu. Shiroi tersenyum melihat Mia. Lalu, ia duduk sambil membaca buku, buku hariannya. Lalu, pelajaran pertama pun dimulai…pengenalan untuk mata pelajaran baru di sekolah ini.

***

~Hari itu, di mana majikanku sendiri tewas bunuh diri. Aku bertemu dengan seorang anak yang membawa buku harian Nona Grace. Siapa dia? Kenapa dia seperti sudah lama mengenal Grace? Mungkin aku salah, selama Grace hidup, aku tidak pernah menganggap serius perkataannya hanya karena aku dianggap sebagai alat yang hanya bisa disuruh-suruh. Padahal sekalinya aku mendengarkan saat ia bercerita tentang danau itu…AKU BINGUNG! BINGUNG!!! Tapi, saat aku pergi ke taman bermain itu lagi, perempuan itu tidak ada. Sial! Aku menunggunya sampai sore, sampai aku tidak ikut pergi ke gedung pertunjukan teater bersama ibu angkatku. Tapi, saat aku berusaha menembus semak belukar itu, hanya truk yang sedang mengangkut barang pindahan dan rumah yang sudah rata dengan tanah. Aku berpikir…Rumah Mia??? Rumah itu tampak luas dan aku melihat sekilas barang pindahan itu, piano besar antik, meja belajar, dan…aku sendiri hanya sekilas melihatnya. Lalu aku kembali menembus semak dan bertemu lagi dengan Mia di taman bermain. Dia hanya melihatku, tidak berkata apapun, hanya memandangi jalan yang sepi. Saat aku akan menghampirinya, dia malah pergi…kenapa? Ingin aku berteriak, MIAAAAAAAA!!! Tapi percuma, benarkah ia sudah lupa? Atau dia dicuci otak dan diberi ingatan baru? Aku berharap, aku bisa tahu banyak tentangmu…mungkin kau bisa lupa tentangku karena ingatanmu terkikis waktu…~

“Shiroi?” Tante Risa bergegas menuju kamar Shiroi, lalu anak itu menutup buku hariannya.

“Kamu lagi apa? Sendirian saja di kamar.”

“…”

“Coba tante tanya, kamu masih betah di sini kan?”

“Iya.”

“Kenapa kamu nggak ikut tante lagi? Padahal kamu bisa bertemu dengan Grace yang baru.”

“Grace yang baru?”

“Kau belum tahu? Dia itu…Mia Grace.”

“Mia Grace? Jadi…?”

“Ya, sepertinya yang waktu itu di taman bermain.”


Walau masih mengingat kejadian yang lalu, Shiroi enggan bertemu dengan Mia. Ia masih cukup trauma karena disuruh-suruh segala macam oleh Grace di masa lalu. Dia masih ingin bebas tanpa suruhan macam-macam. Lagipula, salah-salah ia bisa dianggap sok kenal dengan Mia. Di masa lalu saja Mia tidak mengingatnya lagi, bagaimana dengan sekarang? Padahal, jika ia membaca perasaan Mia saat itu, anak itu seperti kehilangan sesuatu yang berharga baginya, ia hanya melamun dan memandang Shiroi dengan pandangan kosong, seperti enggan mengingat masa lalunya.

***

“Halo?”

“Desta, duh…Mama minta maaf banget…” Kata suara di seberang.

“Kenapa mam?”

“Supir kamu itu nggak bisa jemput kamu hari ini, kamu menginap di rumah Mia aja ya?”

“Oh iya, nggak apa-apa kok…lagian Desta ada janji sama Mia.”

“Baguslah, maaf ya mama baru kasih tahu…kamu pasti nunggu ‘kan?”

“Nggak kok…aku baru keluar, pelajarannya tadi agak lama.”

“Ooh, tapi nggak membosankan ‘kan?”

“Justru seru…makannya jadi lama.”

“Oh, sudah dulu ya Des…mama dari tadi sibuk…”

“Iya ma…salam buat papa ya…”

“Oke.”


Handphone ditutup. Dalam hati, Desta kegirangan, pulang bareng Mia sama supirnya…kapan lagi coba? Untuk urusan menginap dia bisa saja pinjam piyama Mia dan tidur di kasur yang bawah atau kamar lain. Lalu Desta cepat-cepat berlari ke arah Mia yang sedang menunggu jemputannya siang itu.


“Miaa!”

“Ngg…ada apa?”

“Yeah! Akhirnyaa…kita pulang bareng sama supirmu karena supirku nggak bisa jemput.”

“Bahagia banget kamu…”

“Iya dong…terus aku juga disuruh mama menginap di rumahmu.”

“Menginap? Ibu kamu sudah menghubungi ibuku?”

“Pastinya…!” Kata Desta sambil tersenyum.

“…”


Mia berpikir, bisa gawat kalau selama ini Shiroi juga kadang menginap dengan tante Risa di rumahnya. Bisa-bisa Desta curiga macam-macam, masih untung kalau Desta nggak terlalu cuek dengan kehadiran Shiroi di rumahnya. Setidaknya, acara afternoon tea di dekat jendela terpaksa absen hari ini, diganti acara bercerita dan bukan bercerita tentang anak laki-laki seperti biasanya. Kalau salah tanggapan, bisa-bisa Shiroi tersinggung dengan kata-kata Desta tentang opininya terhadap anak laki-laki di sekolah.


“Des…”

“Ya? Oya satu lagi, sebelum ke rumah kamu, kita mampir ke restoran ya?”

“Okelah…tapi kamu jangan keganggu ya kalau…ngg…”

“Keganggu apanya?”

“Kalau Shiroi ada di rumahku, jangan ngomongin anak-anak…”

“Dia setiap hari ke rumahmu?”

“Kalau dia kesepian di rumah, atau kalau dia mau bercerita tentang teman-temannya di sekolah.”

“Iya, beres lah…”

“Oh…itu mobilku sudah datang.”

“Aku duduk di depan ya?”

“Jangan! Ketahuan ibuku nanti kamu malah diomongin macam-macam.”

“Memangnya kenapa?”

“Itu kursi spesial ibuku, kalau yang menyetirnya ayah.”

“Ooh…Iya nggak apa-apa kok…tadinya sih…”

“Mau pedekate? Sana, di restoran duduk berdua!”

“Terus kamu sama siapa?”

“Sendiri.”

“Nggak ngajak Shiroi?”

“Nggak, dia mau ada acara sama Tante Risa.”

“…”


Mereka naik ke jok belakang. Mia sedikit memaksa supir itu agar mau berkenalan dan berjabatan tangan dengan Desta. Untuk pertama kalinya laki-laki itu tampak malu, tapi malah berujung dengan pembicaraan akrab diantara mereka. Mia memilih untuk mencatat sesuatu di buku hariannya sambil sedikit menyimak pembicaraan mereka. Lalu mereka berhenti di sebuah restoran yang besar.

Di restoran itu Mia hanya memesan es krim waffle dan sapi panggang untuk makan siangnya, ia juga memesan buah-buahan yang baru dipetik untuk ibunya. Desta dan Leon—supir pribadi Mia duduk berhadapan. Mereka memesan makanan pembuka yang sama dengan snack yang berbeda. Dari ambang pintu restoran, muncul Tante Risa.


“Tante…” Mia langsung menyapa wanita itu.

“Mia…kamu sedang apa? Terus…Sst…sebenarnya supir kamu itu siapanya Desta?”

“Aduuuh tante, jangan keras-keras…mana pakai baju dress seperti itu lagi…mau cuci mata?”

“Bukan dong…memangnya tante ini bukan istri setia…? Oya, hubungan mereka itu kayak apa sih?”

“Kayak…ngg….teman baru…hehehe.”

“Ooh…Shiroi nggak apa-apa kan di sekolahnya?”

“Nggak kok…Palingan sudah mencuci mata banyak perempuan di kelas.”

“Yaah, kau ini…jangan-jangan keponakan baru tante ini suka juga yaa? Dia ada di mobil kok…mau ditemui?”

“Nggak ah…tante. Aku mau makan dulu ya…”

“Iya.”


Desta senyum-senyum ke arah Mia setelah ia melihat Shiroi di balik mobilnya. Mia hanya menggelengkan kepalanya…Dasar nasib, ia bahkan bisa bertemu dengan Shiroi di tempat yang sama tanpa memberitahu terlebih dahulu tempat itu. Mia harap, tante itu tidak akan memaksa Shiroi untuk keluar dari mobilnya. Karena itu, Mia makan dengan perasaan aneh, tidak seperti biasanya dia makan es krim waffle dengan santai, bahkan belum sampai lima menit kini es krim waffle itu tinggal mangkuknya saja. Kemudian Tante Risa menghampirinya.


“Nanti Shiroi datang ke rumahmu lagi, katanya ada perlu…”

“Haah…ada perlu atau kesepian di rumah?”

“…Kamu ini ya, dia itu benar-benar ada perlu…tante jadi curiga.”

“Aah, udah deh…tante gitu ah.”


Tak lama, Desta dan Leon menghampiri Mia dan mengajaknya pulang. Mia ogah-ogahan sambil pura pura menghabiskan es krim wafflenya (Padahal hanya tinggal magkuknya saja).


“Ayo pulang.”

“Sampai mobil itu belum pergi juga, aku nggak mau keluar!”

“Yaah, sampai segitunya.”

“Kalian ini ya…jangan-jangan memang rencana kalian mendatangkan pengganggu itu?”

“Bukan kok…memangnya kami hapal nomor handphone Shiroi?”


Lantas Mia me-misscall Tante Risa. Lalu mobil sedan hitam itu pergi meninggalkan tempat parkir. Setelah itu mereka naik ke mobil dan menuju rumah Mia. Rumah itu cukup jauh jaraknya dari restoran itu maupun dari sekolah. Saat mereka sampai di rumah, Mia bergegas masuk diikuti Desta. Ibunya tengah berada di ruang utama sedang mencatat sesuatu.


“Ibu…ini Desta.”

“Oh, silahkan masuk…maaf ya rumahnya terasa sempit…” Ujar ibu itu merendah.

“Nggak apa-apa…mama sudah menghubungi tante kan?”

“Iya, baru saja…katanya kalian tadi di restoran, makan siang?”

“Iya bu…tadi Desta mengajak aku dan Leon.”

“Ooh, kamar Mia cukup kok…pakai saja kasur yang bawah itu.”

“Iya tante, makasih ya…”

“Sama-sama. Oya kalau Mia mau main piano, kamu bisa main piano nggak?”

“Nggak…tapi aku suka permainan pianonya Mia, tante…”

“…Tante ke dapur dulu ya, kamu pinjam dress nya Mia saja.”

“Baik, tante.”


Mia mengajak Desta ke kamarnya. Kamar itu luas, ada rak buku, lampu tidur, dan sebuah meja belajar dengan miniatur piano di atasnya. Selain itu, ada foto, buku pelajaran, dan sebuah buku harian tebal. Di tempat tidur ada beberapa boneka dengan ukuran besar. Ada kamar mandi di dalam, selain lampu tidur, di atas meja ada lonceng kecil dan sebuah benda aneh seperti jeli.


“Apa ini? Kenyal…”

“Oh itu…pengganti lampu, kalau mati lampu…fungsinya seperti lampu emergency.” Kata Mia sambil beres-beres.

“Kenapa pakai toples?”

“Karena sebelumnya harus direndam di air panas.Tapi mungkin itulah sumber energinya.”

“…”

“Sudah hampir jam tiga…sebentar lagi pasti Shiroi ke sini.”

“Ngapain?”

“Entahlah, tapi kamu jangan jutek ya…ibuku suka menyuruhnya menemani aku di sini.”

“Haah…kukira mau pacaran.”

“Kalau itu sih kamu sama supirku…hahaha.”

“Awas kau yaa…!” Desta melemparkan bantal ke arah Mia.

“Sepertinya dari tadi ada yang ingin kamu bicarakan…selama Shiroi belum datang sih…boleh aja ngobrolin anak laki-laki.”

“Nah itu! Sekarang baru jam dua pas, pinjam papan tulismu.” Kata Desta sambil menunjuk papan tulis kecil di sudut kamar.

“…”

“Oya, buat apa kamu menyimpan papan tulis kecil ini di kamar?”

“Dulu, kalau aku punya jadwal tertentu selama liburan. Ingatanku terbatas.”

“Aku pinjam spidolnya ya.”

“…Mau menulis apa?”

“Berhubung Shiroi belum datang, kita menulis…pendapatmu tentang dia.”

“Haah?! Kalau ketahuan gimana?”

“Spidol kan bisa dihapus…”

“Benar juga.”


Desta menulis pendapat Mia tentang Shiroi, mulai dari menceritakan masa lalunya sampai cerita afternoon tea kemarin. Desta menulis sambil mendengarkan lagu di handphonenya agar suasana kamar tidak sepi. Setelah menulis beberapa kata, Mia menyalakan kipas angin di kamarnya dan member makan dua ikan koki di toples yang ada di atas meja antik sambil bercerita tentang kejadian kemarin. Setelah papan tulis itu penuh dengan kata-kata, Mia menengok ke luar. Shiroi datang lebih awal dari yang ia perkirakan.


“Ga…wat…”

“Kenapa, Mia?”

“Anak itu…da…”

“…” Saat Shiroi menengok ke jendela kamar Mia, Mia lekas menunduk, demikian Desta.

“TIARAP!!!”

*GUBRAAAAK*

Mia tengkurap di atas karpet, sementara Desta berusaha untuk menghapus catatan di papan tulis kecil itu, namun usahanya tidak berhasil.


“Des…”

“Siaaaaal….kenapa nggak bisa dihapus sih?”

“Kayaknya ada yang salah…coba pinjam spidolnya.”

~PERMANENT WHITEBOARD~

“HAH?! Spidolnya permanen!!!”

“Apa?! Terus pakai apa dong menghapusnya? Terus laki-laki itu…gimana kalau sampai…”

“Tenang Desta, aku punya cairan penghapusnya, tapi kayaknya agak lama.”

“…”

“Selama aku menghapus ini, kamu jadi penyambut tamu dulu ya?”

“Ng…Nggak salah???”

“Ayolah, asal aku titip satu, jangan jutek, titik!”

“Mia…tapi…”

*KRIEEEET*

*BRAAAK*

Mia mengunci pintu dari dalam, memaksa Desta untuk “terpaksa” jadi resepsionis dadakan. Di dalam hatinya ia beberapa kali menggerutu. Tapi, demi temannya, ia akhirnya melakukan itu. Sementara Mia berusaha menghapus catatan di papan tulis itu dengan tenaganya.


“Selamat siang…” Desta membukakan pintu, berusaha agar terlihat ramah di depan “tamunya”.

“Siang…ini Desta ‘kan?”

“Ya…”

“Mana Mia?”

“Ngg…tadi lagi sibuk, sebentar lagi juga ia ke bawah kok, tunggu saja.”

“Aku ada perlu dengannya, ijinkan aku masuk.”

“Silakan…”


Shiroi menunggu sambil duduk di ruang utama. Desta segera naik ke lantai dua dan mengetuk kamar Mia. Dia sudah tak tahan berakting seperti seorang resepsionis. Mia membuka pintu dan menyuruh Desta langsung masuk ke dalam.


“Dia ngomong apa aja?”

“Cuma nanya, ‘Mana Mia?’ begitu.”

“…”

“Ngomong-ngomong, acara menghapusnya sudah selesai ‘kan? Rasanya mau mati tadi…”

“Sedikit lagi, bilang ke Shiroi kalau aku sedang ada di kamar, sebentar lagi aku mau ke bawah.”

“Ooh…kukira mau mengajak dia ngobrol di kamar lagi…berdua.”

“Nggak enak…”

“…”

“Tolong bilang ya kataku tadi.”

“…Oke, tapi…CEPAT SELESAIKAN ACARA MENGHAPUSMU ITU!!!”

“Iya…iya…”


Saat Desta baru mau menutup pintu, dilihatnya masih ada catatan itu, masih belum terhapus juga.


“Nggak bisa dihapus kayaknya…”

“APA?!...Terus…”

“…Mungkin akan kusembunyikan.”

“Gimana kalau ketahuan pembantu atau…Apalagi di sana ada tulisan Leon love…”

“Paling juga memakai cara seperti bulan lalu.”

“Apa? Pokoknya harus terhapus!”

“Dibanting, tapi kalau anak itu dengar, tolong bilang kalau aku sedang merapikan kamar…”

“Kalau dia memaksa ke kamarmu?”

“Terserah mau dihalang-halangi juga, pokoknya jangan sampai dia lolos ke sini.”

“Hapus itu semampumu, aku mau ke bawah.”


Desta menutup pintu. Lalu Mia melakukan hal yang ia lakukan sebulan yang lalu, ia mengucurkan cairan itu ke seluruh bagian papan tulis dan menunggunya kering. Saat Desta ke bawah, Shiroi masih ada di situ sedang meminum jus yang ada di atas meja kaca.


“Mia ada ‘kan?”

“Dia sedang beres-beres…”


Tampaknya perkataan Desta dicuekkan begitu saja oleh Shiroi, sehingga perempuan itu hampir tidak tahan untuk membanting buku telepon yang ada di tangannya. Tapi, Desta segera sadar dan menahan emosinya habis-habisan sampai keringat dingin menetes di dahinya. Beberapa menit kemudian, Shiroi yang sudah kelamaan menunggu hendak menanyakan Mia sekali lagi, tiba-tiba…

*BRAAAAK*

*TRAK…TRAK…*

“Des, itu apa sih? Mia nggak apa-apa kan?”

“Uugh….Sudah kubilang ia sedang beres-beres.”

“Sampai ribut gitu.”

“Heh, kalau cewek biasa dong yang namanya beres-beres ribut sana-sini!”


Di kamar, catatan itu sudah bersih dan berubah menjadi onggokan debu hitam di lantai. Mendengar suara ribut-ribut Desta yang keceplosan mengeluarkan sifat juteknya, Mia buru-buru merapikan rambutnya dan menyapu kamar sampai bersih. Lalu ia cepat-cepat turun ke ruang utama.


“Mia!”

“…Maaf, padahal kalau kamu nggak lebih awal datang, kamu nggak akan lama menunggu.”

“Mia, Desta main ke sini?”

“Mau menginap, kami juga mau ngobrol-ngobrol sedikit.”

“…”

“Desta, Leon memanggilmu ke taman.”

“Taman yang mana?”

“Taman belakang…cepat sana, sebelum ketahuan ibuku.”

“Iya…iya…” Desta lantas pergi meninggalkan ruang utama.

“Shiroi, aku mau minta maaf sudah membuatmu lama menunggu.”

“Nggak apa-apa…aku nggak apa-apa.”

“…”

“Juteknya nggak ketulungan ya?”

“Begitulah…mau bagaimanapun dia tetap sahabatku.”

“Ngomong-ngomong, ngapain Leon memanggilnya? Memang mereka sudah saling mengenal?”

“Sst…hanya hubungan khusus, tapi jangan bilang-bilang pada siapapun.”

“Iya…”

“Saat aku ke sekolah pagi-pagi tadi, tiba-tiba ada yang menyerangku.”

“Pasti kakak beradik itu, suruhan paman.”

“Jadi?!”

“Grace juga sudah tahu itu, makannya ia tahu kenapa ia diincar.”

“…Sebenarnya aku juga tahu, walaupun ragu karena kelihatannya ia orang baik.”

“Orang baik pun…akhirnya hanya kau yang kupercayai.”

“…”

“Mia nggak akan membunuhku kan?”

“Selama kau tak menyerang, aku juga tidak akan menyatakan perang.”

***

Kemarin, jam 9 malam.

Seorang pria, usianya masih terlihat muda di usianya yang sudah kepala empat, ia duduk di kursi yang ia anggap sebagai kursi kerajaannya. Lalu, dari kegelapan yang hanya diterangi lilin itu muncul seorang laki-laki sambil membawa nampan minuman. Matanya menyipit terhadap pria yang tengah meminum air yang baru saja ia sajikan. Ruangan temaram itu hanya diterangi beberapa buah lilin di dua sudut ruangan. Baru saja akan beranjak pergi, laki-laki itu dipanggil dengan suara parau.


“Shiroi…anakku.”

“Ada perlu apa, Tuan?” Laki-laki itu setengah menunduk.

“Ada yang ingin kubicarakan sekarang, selagi Risa pergi.”

“…”

“Duduklah di kursi itu.” Katanya sambil menunjuk kursi tamu di ruangan itu.

“Apa yang akan Tuan sampaikan?”

“Aah…sedikit, mengenai pewaris baru itu…”


Lantas pria itu berpindah tempat duduk dari kursi yang tadi, lalu duduk di hadapan Shiroi setelah menyandarkan tongkatnya.


“…”

“Tentang Mia?” Mata laki-laki itu kembali menyipit curiga.

“Yaa…apa kau tak keberatan?”

“Untuk sebuah perintah dari Tuan yang menyangkut Mia…?”

“Ya, mungkin bagimu ini ringan…selama anak itu mempunyai karakter yang sama dengan Grace sebelumnya.”

“…”

“Aku mau minta tolong…”

“Untuk…?” Shiroi malas berbasa-basi.

“Menyingkirkannya…”

“…”

“Apa kau keberatan? Kurasa kau orang dekatnya.”

“Sedikit, aku tidak mau mengotori tanganku lagi.”

“Ooh ya, soal adikmu…”

“…”

“Ooh, bukan begitu…maksudku dengan melenyapkan dia…”

“…?”

“Kau bisa mendapat apapun yang kau mau, termasuk rumahnya, piano antiknya…”

“Tidak…”

“Haah…masih banyak pianis yang lebih indah permainannya dibanding dia, aku bisa carikan.”

“Aku tidak mau.”


Shiroi segera meninggalkan ruangan itu, ia memutuskan untuk pulang ke rumah pribadinya. Di hatinya ia terkejut akan ambisi ayah angkatnya selama ini, dan ketika orang yang sudah berjasa padanya itu meminta bantuan untuk melenyapkan seseorang, yang sama berharganya dengan adiknya dahulu. Dengan bayaran macam apa pun, ia tidak akan melakukannya. Ia berjanji untuk tidak melakukannya.

***

*ZRAASSSSS*

Tiba-tiba sore itu hujan mengguyur kota, termasuk rumah Mia. Leon dan Desta buru-buru mencari tempat berteduh. Kemudian mereka berteduh di tempat yang berada tepat di tengah-tengah taman belakang, di mana sepanjang labirin hanya ditanami mawar yang merah merekah. Tempat berteduh itu adalah tempat untuk minum teh di tengah kebun mawar. Namun, mereka hanya bisa berteduh di situ sambil memandangi hujan yang semakin besar. Lalu, mereka bertemu dengan ibunya Mia yang tengah memetik mawar di tengah hujan. Ibu itu memakai payung hitam, lalu ia melihat di tempat pribadinya ada dua orang yang berteduh.


“Desta?”

“…Tante?!”


Desta sangat terkejut, dalam posisinya yang sekarang ia berharap tidak diusir dari rumah temannya ini. Namun, dugaannya benar-benar terbalik dengan realitanya. Ibunya Mia hanya tersenyum, seperti yang sudah tahu kalau Desta sedari tadi memang berada di sana bersama Leon.


“Ini untuk kalian…maaf ya taman ini labirinnya rumit. Beruntung kalian segera menemukan tempat ini.”

“Nggak apa-apa kok tante…Ini tempat pribadi tante ‘kan?”

“…Iya, dulu tante suka minum teh di sini. Kau membawa Leon jalan-jalan?”

“Ya, kasihan ‘kan kalau diam terus di depan mobil tanpa pernah sekalipun menikmati rumah ini.”

“…Kau benar.”

“Mia di mana, tante?”

“Di ruang utama, tampaknya masih memperbincangkan sesuatu dengan Shiroi.”

“Umm…iya.”

“Apa Leon bercerita padamu?”

“Ya, banyak hal…” Kata Desta setengah tertawa, sementara orang di sampingnya hanya tersenyum.

“…Jangan sia-siakan masa mudamu, Des…”

“…”

Sementara itu, di ruang utama hujan terlihat jelas di balik jendela besar. Mia berjalan dari arah ruang makan ke ruang utama, di tangannya ada sebuah pisau dan sekeranjang buah-buahan. Shiroi hanya terpaku saat melihat tangan kanan Mia memegang pisau, dengan cepat Shiroi merebutnya.


“Apa-apaan kamu bawa pisau segala?”

“…Untuk mengupas apel, salah ya?”


Shiroi hanya bisa bernafas lega, Mia tidak bermaksud membunuhnya sekarang. Tadi, ia teringat akan pembicaraan malam lalu, ambisi ayah angkatnya. Shiroi sedikit cemas saat Mia menunjuknya dengan pisau yang baru diserahkannya tadi setelah perempuan itu mengupas sebuah apel.


“…”

“Jangan…kamu nggak berniat membunuhku ‘kan?”

“Haah…? Aku hanya akan menawarimu barangkali mau mengupas apel juga, apelnya tinggal diambil di keranjang itu.”

“…” Shiroi tak berkata apapun, keringat dingin mulai membasahi dahinya.

“Kenapa menduga seperti itu? Apa ekspresiku menakutkan hari ini?”

“Ngg…bu…bukan apa-apa…”

“Terus kenapa mendadak ketakutan seperti itu?” Tanya Mia santai.

“…”

“Kamu kenapa?” Tanya Mia lagi, lalu mendekati laki-laki yang tengah ketakutan setengah mati itu.

“…”


Shiroi segera beranjak dari tempat duduknya, lalu menjauh beberapa meter dari tempat Mia, namun Mia yang masih penasaran terus mendekatinya dengan ekspresi yang semakin lama semakin dingin. Setelah melangkah mundur, tubuh Shiroi membentur tembok, isyarat baginya tidak lagi ada jalan keluar. Tapi untuk mengutarakan alasan sebenarnya, ia rasa tak mungkin.


“Shiro…” Kini kaki gadis itu hanya berjarak 30 sentimeter dari kaki Shiroi, semakin mendekat.

“Be…Berhen…”

“Hei! Kamu kenapa?” Mata gadis itu perlahan meninggalkan kesan dingin, kembali seperti semula.

“BERHENTI!!!”


Mia terpaku, jaraknya kini hanya sepuluh sentimeter dan ia masih memegang pisau itu. Di dalam hatinya, ia berpikir Shiroi takut dengan barang yang ada di tangannya, walaupun sejak tadi laki-laki itu melihat wajahnya yang menunjukkan kesan dingin.


“…”

“Mia,..cukup…aku…”

“…?”

“Aku tidak mau mati sekarang…”


Mia melangkah lagi, kali ini menuju kursi yang didudukinya tadi dan mengisyaratkan agar Shiroi mengikutinya. Namun, Shiroi malah terjongkok secara refleks, membuat gadis itu berbalik dan agak menyeretnya. Lalu gadis itu berjongkok di hadapan Shiroi, sedikit mengusap keringat dingin yang tengah mengalir di wajah laki-laki itu. Shiroi memandang gadis itu sesaat sebelum wajahnya memerah (untuk kedua kalinya).


“…Shiroi, semalam kau mimpi apa sih?”

“Mimpi…buruk…” Katanya terbata.

“Ceritakan padaku, detailnya.”


Mia duduk di kursi yang berada di samping Shiroi berjongkok dan meletakkan pisau dapur berukuran besar itu. Shiroi lalu bangkit, dan duduk di samping gadis itu dan meraih tangan Mia.


“Kamu mimpi apa semalam?”

“…Ngg…janji nggak akan membunuhku?”

“Ahahahahahaha…buat apa? Aku nggak akan menyerang kalau tidak diserang…”

“Karena aku bermimpi disuruh…untuk melenyapkanmu, makannya aku tabrak kau tadi. Aku lega, kau masih hidup sampai sekarang…” Jelasnya perlahan, ia sedikit berbohong.

“…Dan cepat atau lambat, kau pasti akan menerima perintah itu, mungkin.” Gadis itu seperti membaca pikiran Shiroi yang sedang kacau.

“…”

“Kalau di bidak catur, aku ini bidak berwarna hitam…” Kata gadis itu sembari tersenyum, lalu ia melepaskan tangannya dari genggaman Shiroi.

“Benteng pertahanan ya…”

“Tepatnya seperti itu, yang penting adalah mempertahankan keberadaan kita sampai titik akhir.”

“Kau suka catur?”

“Tidak juga, hanya menyukai strategi yang dilancarkan saja.”

“…Boleh aku bertanya sesuatu, Nona?”

“Ya boleh…tapi kau jangan memanggilku seperti itu dong, berlebihan…” Katanya agak tersipu, menyembunyikan perasaan yang dipendamnya selama ini.

“Oke…balik lagi ke asal, Nona Mia…”

“…?”

“Sejak seumur hidupmu, siapa yang kau sukai?”

“…”

“Hei, aku ini kan teman dekatmu, kamu bisa terbuka sedikit kan?”

“…Memangnya kau anggap aku ini siapa?”

“Kuanggap sebagai teman hidupku…”

“…” Mia sudah tak mampu berkata apa-apa lagi, checkmate!

“Hujan perlahan reda, ya…hari juga semakin sore.”

“Benar, kalau kau mau apel, kupas saja pakai pisau itu.” Kata Mia sambil menunjuk ke arah pisau yang kini tergeletak di meja.

“Maaf, aku tidak bisa mengupasnya.”

“Mau kuajari?”

“…Iya.”


Sambil mengajari, Mia berhati-hati agar tangannya tidak tersayat. Setelah ia selesai mengajari Shiroi dan selesai mengupas apelnya, ia memakan apel itu sampai habis. Shiroi menatap perempuan itu sebentar, tanpa sepengetahuan perempuan yang kini berada di sampingnya. Tapi, ia ketahuan telak saat ibu perempuan itu memasuki ruangan utama karena hujan sudah reda. Shiroi tampak agak terkejut, karena memandangi perempuan yang berada di sampingnya sekarang cukup berakibat dugaan macam-macam mengenai reaksi ibu itu. Beruntung, ibu itu hanya menghampirinya diikuti Desta dan Leon. Tak lama, Leon sendiri pergi ke ruang makan. Ibu itu sedikit berbasa-basi dengan Shiroi, sebelum akhirnya ibu itu meninggalkan ruangan utama, sehingga hanya mereka bertiga yang berada di situ.


“Shiroi, kamu mau menginap hari ini?” Tanya Mia

“Ya…” Jawab laki-laki itu, setidaknya ia berupaya untuk menghindari bujukan pamannya tentang harta dan piano antik Mia yang benar-benar mahal. Ia tidak bisa bermain piano, jadi percuma saja jika barang itu hanya ada di tangan ia seorang.

“Des…ke kamar yuk?”

“Oke…aku duluan ya?”

“Iya, nanti aku menyusul.”

“…”

“Shiroi, di rumah ini kamu bisa menginap di…kamar tamu di lantai dua, kamu tahu kan?”

“Ya…”


Mereka naik ke lantai dua, lalu Shiroi masuk ke kamar yang akan ditempatinya. Sebuah kamar yang cukup luas dan barang di dalamnya antik-antik, termasuk telepon yang dijadikan hiasan dan sebuah rak berukir perpaduan gelombang yang sangat indah. Yang membedakan dengan kamar lainnya adalah posisi lampu tidur yang menempel di dinding, bukan diletakkan di atas meja. Setelah membereskan beberapa peralatan, Mia menutup pintu dan meninggalkan Shiroi di dalam. Ia lalu menuju kamarnya. Hari ini ia tidak tidur sendirian, Desta menginap di rumah itu dan tidur di kamar yang sama.

*KRIEEET*

“Desta?”

“Umm? Bagaimana dengan anak itu?” Balasnya sambil mengotak-atik laptop di meja belajar.

“Dia juga menginap.”

“Bagaimana tadi?”

“…Sedikit kacau, tapi langsung berjalan lancar.”

“Siapa yang merah duluan?”

“Nggak tahu! Kok nanya gitu sih?”

“Fuh…tuh kan, muka kamu juga merah sekarang.”

“Itu…hngg…”

“Ya…ya…aku tahu perasaanmu kok.”

“…”

“Minimal kau menemani separuh hidupnya, jadi dia masih kenal karaktermu sampai sekarang.”

“Dia bilang kalau aku banyak berubah.”

“Mungkin dia tahu masa lalumu?”

“Hanya hari itu, lalu hari di mana aku berusaha untuk melupakan kejadian yang telah berlalu.”

“…”

“Des…walaupun kita hari ini bergelimangan harta, jika kita tidak bisa menjaga ekstitensi kita sendiri…kita juga yang akan menderita karena barang itu.”

“Maksudmu?”

“Maaf, aku tidak bermaksud pesimis…hanya karena alasan seperti itu aku ingin melupakan masa laluku.”

“Sudahlah, kalau kau ingin melupakannya…jangan diungkit lagi.”

“Aku tahu, Des…”

“…”

“Sudah malam ya…”

“Jam 8 malam…melihat situasi kota dari jendelamu, aku rasa kota ini sangat gemerlap.”

“Ya…kalau malam memang lebih ramai sih.”


Mia menutup tirai jendelanya dan menyalakan lampu tidur. Tak lama, Desta menutup laptopnya dan beranjak ke tempat tidur setelah berganti baju dengan piyama di WC. Mia berusaha memejamkan matanya, lalu ia tertidur. Sementara Desta tertidur pulas setelah mengotak-atik handphonenya.

***

Jam 9 malam, semua orang sudah tertidur lelap, kecuali ibu angkat Mia dan Shiroi. Laki-laki itu tidak bisa tidur, entah apa yang ia pikirkan. Rasanya hari ini adalah hari dimana sebuah perilaku bisa tiba-tiba berubah drastic. Dimulai sejak ia melihat cara Mia memegang pisau bukan seperti yang hendak mengupas, lalu secara tiba-tiba gadis itu kembali melunak seperti biasanya. Rasanya Mia tidak mungkin tahu pembicaraannya dengan paman gadis itu kemarin, tapi ia seperti bisa menebak sesuatu yang dipikirkan Shiroi dengan santai.

“Bidak hitam…” Shiroi bergumam,terus terang saat bermain catur ia lebih suka bidak berwarna putih yang bersifat menyerang terlebih dahulu.

*TING TONG*

Ibunya Mia membuka pintu.


“Risa, kau mau menjemput anakmu?”

“Ya…sesuatu yang rutin kulakukan sebagai ibunya.”

“Hmm…aku panggilkan dia ya, Mia pasti sudah tidur…rumah ini jadi sepi.”

“Iya kak…”

Ibu itu naik ke lantai dua, lalu mengetuk kamar tamu, Shiroi membukanya perlahan.

“Tante…”

“Ibumu menjemput tuh..”

“Aku mau menginap ya? Masih betah…” Kata Shiroi sembari tersenyum.

“Baiklah…aku minta izin ibumu dulu.”

“…”

“Kenapa?”

“Aku nggak mau pulang…bilang saja kalau aku sudah ketiduran.”

“Ya ampun…padahal cuma minta izin saja…pasti diizinkan kok…”

“Beneran?”


Ibunya Mia mengangguk, lalu menemui adiknya di bawah dan meminta izin agar keponakan angkatnya itu diizinkan untuk menginap. Benar saja dugaannya, adiknya mengijinkan. Tapi, Risa tidak lantas meninggalkan ruang utama, kini ia sibuk mengobrol dan curhat pada kakaknya…mengenai status mereka, anak-anak, bahkan suaminya yang sering pergi dengan tujuan yang tidak jelas. Sesekali, Risa tampak seperti yang akan menangis.Reena—ibunya Grace dan ibu angkat Mia beberapa kali menenangkan adiknya itu, agar ia bersabar.

“Aku tidak mau kehilangan dia…” Air mata itu perlahan membasahi pipi Risa.

***

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda mengenai posting di atas, terima kasih :)