Pages

Rabu, 16 Juni 2010

(RED) Part 4: Destiny

Sebuah rumah yang sudah rata dengan tanah, semak yang setengah bagiannya hilang, dan beberapa truk besar di depan rumah yang telah dihancurkan itu. Suasana semakin lengkap ditambah beberapa orang jasa pengangkut dan seorang anak yang menunggu orang-orang itu selesai melakukan pekerjaannya. Anak itu bernama Mia, ia sedang menunggu sambil bermain ayunan. Anak itu tampaknya melamun, sambil berkata entah apa maksudnya, ia tampak ingin melupakan masa lalunya. Tak lama, seorang anak laki-laki yang sebaya muncul dari balik semak. Tadinya anak itu akan memanggil Mia, tapi ia menahan mulutnya, salah-salah dianggap sok kenal. Tak lama ia mendapat ide, ia menepuk tangannya sendiri. Benar saja, Mia menengok ke arahnya…dengan pandangan kosong.


“…”


Tak lama, Mia mengembalikan pandangannya ke jalan yang sepi. Shiroi terpaku melihat perempuan itu, ingin rasanya ia menghampiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan mendekati anak itu tanpa suara. Namun, pada akhirnya ia mendengarkan sebuah “cerita jujur” yang keluar dari mulut anak itu.


“Kakak…Ibu, Ayah…semuanya…teman-teman Mia di sekolah…”

“…”

“Kak Grace yang sudah berbaik hati…mau menerima Mia, Mia kesepian…Mia sakit sekarang, Mia tahu artinya menderita…seperti senar piano yang putus…” Lanjut anak itu.

“…”

“Aku juga…akhirnya jadi bagian keluarga kakak…walaupun kakak tiada sekarang, kakak selalu tahu di mana Mia…Aku juga punya teman baru kak…”

“…”

“Kakak tahu Shiroi ‘kan?...Dia sekarang ke mana yaa…”


Ingin rasanya ia berteriak, “Aku di sini, Mia!”…tapi tampaknya percuma.Tadinya Shiroi mengira anak itu sudah lupa akan dirinya, bahkan menduga anak itu sudah dicuci otak. Padahal anak itu melihatnya tadi, kenapa ia jadi tidak hapal wajahnya? Apakah wajahnya benar-benar berubah…atau anak itu melupakan dia? Namun, saat Shiroi akan menghampirinya, anak itu malah beranjak dari ayunan, melihat para pekerja itu sudah selesai melakukan pekerjaannya, ia terus berlari dan akhirnya benar-benar lenyap dari pandangan Shiroi. Shiroi memutuskan untuk pulang ke rumahnya, dan menulis kejadian yang dialaminya sekarang, dan sedikit memori masa lalunya lengkap dengan praduga cuci otak itu. Hanya satu yang dilihat dan terus diingatnya, saat terakhir sebelum anak itu beranjak dari ayunannya. Saat wajah Mia berbinar dengan mata yang menyipit serta senyuman mengembang, ia tampak bahagia.


“Terima kasih…teman-teman,ibu,ayah,kakak…semuanya!!!”

***

“Aau…!”


Mia bangun sambil memegangi kepalanya, seperti seseorang yang baru bangun tidur dengan posisi masih terlentang. Tanpa menyadari kamarnya dipenuhi orang-orang, ia mencoba meraih lonceng kecil di meja dekat tempat tidurnya yang berujung meraba saku jas Shiroi yang disangkanya bungkus toples tempat “meteor ajaib”. Saat matanya terbuka dan akan duduk, ia baru sadar satu kelas sudah ada di kelasnya, ditambah Nora, pelayan yang kerap kali menyiapkan sarapan untuknya, dan wali kelasnya. Lalu muncul Risa, pelayan yang menemukan Mia pingsan di ruang piano yang mempunyai nama depan yang sama dengan adik ibu angkatnya.


“Waa!” Mia histeris saat benar-benar sadar ia sedang merongoh saku jas Shiroi.

“Heh…malu tahu…malu…” Kata Desta sambil menutupi wajahnya.

“…Yang malu itu yang nggak tahu kata innocent!” Balas Mia sambil mengeluarkan tangannya cepat.

“Maaf ya…maaf banget…” Desta agak memelas.

“Iya, awas aja ya kalo besok hidung saya tambah benjol!”

“Mia…” Bu Sinta akhirnya menyapa Mia yang “setengah tidak sadar”.

“Eh…ibu…kok bisa di sini?” Mia setengah kaget sambil menutup mulutnya.

“Tadi anak-anak telepon…akhirnya teman-temanmu ini menuntut agar sekolah tegas mendidik ulang kakak kelasmu itu.”

“Oh…makasih semuanya…”

“Oya, kalau boleh tahu…apa alasan kamu dilabrak seperti itu?”

“…”


Mia terdiam, ia enggan menceritakan masalah sebenarnya walaupun lama kelamaan semuanya pasti tahu apa alasan sebenarnya, sepele memang. Tapi untuk ukuran sesama perempuan, hal itu akan dibesar besarkan.


“Mia?” Shiroi mencoba bertanya.

“Ng?”

“Ada sesuatu yang mau kuceritakan, nanti kalau semuanya sudah pulang.”


Mia hanya mengangguk tanda mengiyakan. Lalu gadis itu melihat kamarnya yang sekarang benar-benar dipenuhi orang-orang, teman sekelasnya yang totalnya ada 30 orang terlihat berpencar, yang perempuan duduk di kasur bawah, di lantai, bahkan ada juga yang nekat mencelupkan tangannya ke toples ikan koki. Namun, anak laki-laki memilih mengacak rak buku, mencari buku tentang olahraga, musik, dan buku-buku biografi, sebagian yang lainnya tampak mengobrol, ada yang duduk, bahkan ada yang mengobrol dengan Nora dan Risa, entah apa yang dibicarakannya.


“Mia…liat yaa…kalau anak laki-laki…”

“Des!” Mia menimpuk tangan Desta, mengingatkan mulut pedasnya.

“Eh…iya, maaf…”

“Udahlah, nanti kalau sudah mau pulang kamu bantuin aku beresin kamar ini,oke?

“HAH??!!!” Desta hanya bisa terbelalak kaget, lalu ia tampak membujuk Rika untuk “membantunya”, alih-alih menyuruh mewakilkannya.

“Maaf Des…aku ada keperluan setelah pulang dari sini…”

“Ya deh, nggak apa-apa…”

“Desta, kok kamu nggak bilang dari awal suka main gitar akustik?” Tanya Mia, sementara Bu Sinta ditemani para pelayan turun ke bawah menemui ibunya Mia.

“Ooh itu…soalnya memang nggak mau bilang-bilang sih…kadang-kadang permainanku nggak sempurna…”

“Padahal di pertemuan kemarin kamu ikutan, aku jadi main piano sendirian…”

“Yaah…habisnya…”

“Le…”

“UPH!” Mulut Mia cepat-cepat dihalangi tangan Desta, sekali saja temannya itu keceplosan, maka akan ketahuan kalau Desta itu lebih suka orang yang sudah berumur.

“Yaah kamu! Gitu aja…”

“Ssst! Kamu gila ya, udah nggak nyadar…eh…”

“Yang jontorin saya tuh orang gila!”

“Yee…Makannya afternoon tea dulu sana! Kayaknya kesadaran kamu cuma setengah sekarang...”

*TLING TLING*

Nora datang langsung bersama Risa, membawa beberapa nampan yang di atasnya ada banyak cangkir dan satu poci teh, di samping poci itu ada bahan untuk campurannya, susu, madu, gula, dan whipped cream.


“Ini diletakkan di mana, nona?”

“Di sana saja.” Kata Mia menunjuk meja antik.

“Satunya lagi?”

“Di sini.” Kali ini Mia menunjuk meja lampunya, memang masih cukup untuk satu nampan besar.

“Permisi…”


Para pelayan itu meninggalkan ruangan. Satu nampan berukuran sedang berisi lima belas cangkir dan nampan besar yang satunya berisi lima belas cangkir, poci, dan bahan campuran untuk teh. Tak lama anak-anak mulai mengambil cangkir dan menuangkan teh beserta campurannya. Mia mengambil duluan, ia mencampurkan tehnya dengan susu dan mengaduknya dengan sendok kecil. Setelah anak-anak selesai mengambil masing-masing bagiannya, ia beranjak dari tempat tidur dan duduk di kursi yang ada di dekat jendela besar.


“Des, sini!”

“Ada apa?” Desta beranjak dari kasur dan mengikuti Mia.

“Itu…teman-teman, lihat!”


Yang lainnya segera menghampiri Mia, termasuk Shiroi. Mereka melihat pemandangan sore di kota itu, di langit senja yang mulai melebur dengan kegelapan itu meluncur kembang api yang sudah dinyalakan, sesekali mereka bertepuk tangan, ada juga yang menunjuk-nunjuk. Bulan depan adalah hari jadi kota besar itu, ditandai dengan akhir bulan ini, di mana kembang api dinyalakan untuk mengingatkan warga yang tinggal di kota itu.

***

Dua bulan kemudian…

Mia memasuki ruang seni musik bersama Rika dan Desta, setelah mengambil posisi masing-masing, mereka mulai latihan secara solo. Setelah beberapa menit kemudian, masuklah Leyna. Ia adalah anggota teater, tepatnya sebagai ketua menggantikan Sierra yang pindah sekolah karena insiden beberapa bulan yang lalu. Leyna sendiri satu angkatan dengan Mia, dia tampak lelah. Karena itu, saat memasuki ruang musik, Desta segera menyiapkan air minum untuknya.


“Kudengar kalian memutuskan untuk berkolaborasi.” Kata Leyna sejenak setelah ia meminum air yang diberikan.

“Ya, kami hanya ingin memberikan suasana baru.” Balas Mia.

“Aku disuruh kesini, tadinya mau diskusi tentang festival sekolah, katanya akan diadakan di gedung kesenian baru, di pusat kota.

“Pusat kota?” Mia mengerenyitkan dahinya.

“Tepatnya di dekat taman bermain, berhubung sambil promosi juga…kami ingin tempat yang lebih luas lagi.”


Pusat kota? Batin Mia sejenak. Dulu, rumahnya tepat berada di bagian pusat kota, rumah besar dengan jumlah penghuni yang sedikit, jumlah pelayan keluarga angkatnya sekarang memang lebih banyak. Tapi, jika saat itu rumahnya dihancurkan, mungkinkah gedung kesenian ini adalah sumbangan ayahnya dahulu?

***

Beberapa tahun yang lalu…

Seorang anak berdiri di samping ayahnya yang sedang membetulkan senar piano yang rusak. Tampaknya piano itu sudah tua walaupun tidak sebanding dengan tampilan fisiknya yang mengilap setiap anak itu menengok ke ruangan itu.


“Kenapa rusak?”

“Entahlah, piano ini memang sudah tua.”

“Mau dibawakan sesuatu, Yah?”

“…”

“Sebentar ya…Mia mau ke dapur dulu…”


Anak itu beranjak ke dapur sambil meloncat-loncat layaknya anak kecil yang tengah kegirangan. Saat sampai di dapur, tampak ibunya sedang memasak, sementara pembantunya sedang membereskan barang-barang antik di rumah tersebut. Lalu anak itu membawa sebuah cangkir, lengkap dengan nampan dan piring kecil yang ia isi dengan beraneka macam kue kering, sementara cangkir itu ia isi the yang dicampur gula agak banyak. Tak lama, ia berjalan pelan sambil mendekati ayahnya.


“Ini, Ayah…ditaruh di mana ya?”

“Oh…di sana saja.” Kata ayahnya menunjuk sebuah meja yang setengah bagiannya dipenuhi barang antik.

“…Lama ya, Ayah?” Kata anak itu kaku. Lalu ia meletakkan nampan itu di atas meja.

“Yaah…sebentar lagi.” Jawab ayahnya.

“…?”

“Nah, selesai sudah…coba kamu mainkan sesuatu.”

“Tapi Ayah mau minum tehnya kan?”

“Iya dong, kuenya buatan siapa?”

“Ngg…ibu…tapi aku juga bantu kok…” Kata anak itu, lalu duduk menghadap piano.

*TRIING TING TING…TING…*

“…”

“Nah, sudah baikan suaranya. Makasih ya, Mia.”

“Sama-sama, Ayah…”

“…”

“Tahu nggak? Kalau ayah masih sempat, masih punya waktu, ayah mau menyumbangkan tanah ini untuk kota…ingin membangun sebuah gedung kesenian serbaguna.”

“Kenapa bilang ‘masih punya waktu’?”

“Nggak…kalau kamu memang sudah mapan nanti…punya banyak uang, mungkin kamu bisa ikut menyumbang peralatannnya.”

“Alat musiknya? Yaa…semoga saja.”

“Ayah akan mengabadikan nama Ayah di sana?”

“Nggak…langsung saja nama kota ini, karena rumah ini ada di pusat kota.”

“…”

***

“Mia? Jadi bagaimana?”

“Emm….iya, kami bisa mengiringi kalian main drama.”

“Kamu ragu?”

“Oh…nggak, aku hanya mengingat taman bermain itu saja…”

“…?”

“Mungkin nanti siang kita akan adakan rapat dengan anggota teater.”

“…Untuk pertama kalinya, sebelumnya…saya selaku ketua ekskul mengucapkan terima kasih…”

“…Sama-sama…semoga kerjasama kita berjalan lancar.”

***

Beberapa hari kemudian…

Mia pulang dari sekolah, lalu beranjak ke kamar setelah menyimpan sepatunya. Setelah ganti baju dengan blus berwarna peach dipadu rok panjang berwarna hitam pekat, ia duduk di samping tempat tidur sambil membuka buku harian Grace, mengulang catatannya saat pertama kali bertemu dengan Mia. Banyak perbedaan kontras yang ada pada diri Grace yang sudah lama di lingkungan orang kalangan atas, sikapnya yang pada kesan awal tampak lembut, walaupun sebenarnya ia cukup arogan sehingga ia sama sekali tidak punya teman dan kadang membolos sekolah karena merasa tidak betah. Saat kondisinya terjepit karena banyak yang mengincar nyawanya, ia sama sekali tidak punya teman…sampai ia bertemu dengan Mia. Saat Mia berkonsentrasi membaca, ibu angkatnya masuk ke kamar.


“Ibu?”

“…Waah…Mia, pakaianmu bagus sekali. Ibu nggak pernah membelikan itu rasanya.”

“Kemarin aku jalan-jalan sambil ke toko alat musik, lalu melihat baju ini. Karena tertarik, aku membelinya.”

“Jalan-jalan dengan siapa?”

“Teman-teman…Rika mau melihat-lihat biola di toko alat musik untuk tampil nanti, aku hanya mengantarnya…yaah walaupun ujungnya aku minta diantar untuk beli baju.”

“Biasanya kamu pakai celana panjang…”

“…Aku tertarik untuk bersikap feminin, sedikit diajari teman sih…”

“Umm…teman-teman?”

“Ya, teman sekolah…banyak juga yang nggak sekelas, tapi mereka ikutan belanja makanan.”

“…”

“Padahal dari dulu, aku selalu diajarkan permainan piano yang lembut ya, sayangnya sikapku malah nggak pas.”

“Nggak apa-apa…yang penting jadilah dirimu sendiri.”

“…Iya…makasih, Ibu…”

“Sama-sama…Ibu ke bawah ya?”

“Iya…”



Mia berpikir, bukan hal aneh kalau ibu angkatnya bertanya soal teman dengan nada heran. Setidaknya, Mia sudah berhasil meredam sifat “kakaknya” yang bossy beberapa tahun lalu. Sementara itu, tadinya ibu angkatnya akan cukup memaksa Mia agar sikapnya tidak terlalu seperti laki-laki, menyesuaikan dengan statusnya yang sekarang. Namun, tampaknya Mia cepat sadar karena ada teman-teman yang “mengajarinya”.

***

Lima hari sebelum festival sekolah, anak-anak tampak sibuk menyiapkan properti untuk drama, anggota backstage menyiapkan latar panggung yang dibuat senyata mungkin, termasuk peralatan pendukungnya. Ada juga yang sibuk menyesuaikan tata lampu termasuk cahayanya. Sementara itu, anak-anak teater berlatih untuk kesekian kalinya semaksimal mungkin, termasuk Mia, Desta dan Rika yang berkolaborasi sebagai pengisi latar suara untuk drama yang akan ditampilkan. Mereka ada di atas panggung, di dekat daerah akting, mereka sedikit menyesuaikan tempat agar lebih leluasa dalam berkolaborasi, namun tidak mengganggu berjalannya drama. Saat drama itu sudah selesai, Desta yang sedang memperhatikan kru yang berdiskusi tiba-tiba saja…


“Harus pakai gaun?”

“Iya…” Jawab salah seorang kru. Desta mulai membayangkan ribetnya ia harus memakai pakaian seperti itu, walaupun di rumahnya banyak stok gaun untuk pesta.

“…”

“…Atau baju semacam blus dengan jas dan bawahan rok panjang, kami sudah sediakan.”

“Itu saja, tidak apa-apa.”

“Mau disamakan saja?”

“Mia…Rika…gimana kata kalian?”

“Aku ingin jasnya warna biru tua pekat dengan rok panjang berwarna putih, blusnya putih.” Kata Mia.

“Aku mau blus tangan pendek saja, warnanya putih tulang, pita kerahnya putih, tapi bawahannya rok selutut cokelat tua, ada rendanya, kalau bisa rendanya senada dan agak gemerlap.” Usul Rika.

“Aku…blus tangan panjang warna cokelat kayu, bawahan rok cokelat tua dan dasi hitam.”

“Baiklah, sore ini kalian akan diukur untuk ukuran baju yang kalian inginkan.”

***

Hari H Festival Sekolah ke 10

Di dalam gedung dipenuhi banyak orang, orangtua murid juga ikut hadir sebagai undangan. Di luar gedung sendiri banyak anak-anak dari berbagai organisasi yang membuka kios jajanan alih-alih menambah modal kantin sekolah, termasuk Shiroi yang mendadak diwajibkan untuk mengantar makanan untuk anak-anak yang tahun depan berencana masuk ke sekolah tersebut ke bangku-bangku yang sudah ditata rapi. Di dalam gedung, pertunjukan sudah dimulai, saat para pemain berdialog dengan maksimal, hanya alunan musik pelan yang terdengar seiring dialog itu dan lampu temaram cukup membuat Mia, Desta, dan Rika terlihat oleh penonton. Lalu, saat lampu padam, alunan musik semakin cepat dan terdengar keras, lalu lampu temaram itu perlahan semakin terang, menandakan musik instrumen yang mengisi panggung yang kosong, dan lampu itu padam lagi seiring adegan saat tokoh utama melakukan sebuah monolog.

***

“Reno, gantiin aku ya? Kayaknya drama udah mau selesai.”

“Aku sibuk, lima menit lagi, Shiroi…”

“Lima detik tahu!” Laki-laki itu sedikit mengancam.

“Eeeh?!”


Shiroi dipanggil oleh temannya, secara kebetulan ia mendapatkan perintah yang sejak tadi diharapkannya.


“Disuruh ke dalam tuh…kata ibunya Mia…calon…”

“Berisik tahu! Umbar rahasia orang…”

“Sana cepet!”

“Iyaa….kerjakan bagianku ya?”

“Beres bos!”


Shiroi masuk ke dalam gedung menemui ibunya Mia yang memesan cake whipped cream. Kursi ibunya Mia dan ibu angkatnya memang VIP, mereka menonton di depan dengan jarak hanya beberapa meter dari panggung. Lalu Shiroi duduk di samping ibunya Mia sambil ikut menikmati cake (porsinya dibuat tiga, untuk ibunya dan untuk dia sendiri.) dan menonton detik-detik terakhir berakhirnya drama tersebut. Akhirnya, drama diakhiri dengan bertemunya tokoh utama dengan adik perempuannya, para penonton ikut larut dalam suasana haru. Suasana itu semakin terasa nyata setelah narrator mengisyaratkan cerita sudah tamat, kemudian lampu dinyalakan kembali hingga hanya tersisa tiga orang pengisi instrumen di panggung. Saat memainkan instrumen yang mereka ciptakan dengan kreativitas mereka sendiri, Mia sekilas melihat ibu angkatnya tersenyum bangga, bersama Shiroi yang ada di sampingnya. Tantenya sendiri menangis bahagia saking menyimak adegan demi adegan drama itu.

***

“Aku pergi sebentar lagi…tolong anggap dia sebagai adikmu.”

“Kenapa?”

“Sekuat apapun ia menamparmu, jika kau menamparnya ia akan terjatuh.”


Dialog itu terngiang jelas di telinga laki-laki yang tampak mengingat masa lalunya itu. Walau begitu, ia tidak percaya kalau Mia yang sudah sekian kali menamparnya bahkan pernah menarik kerahnya dengan tarikan yang kuat mempunyai fisik yang bisa tiba-tiba melemah seperti adiknya. Lalu ia teringat akan kejadian beberapa tahun lalu, lama sebelum anak itu diangkat oleh keluarga Risa Grace.

Rumah Shiroi, saat kedua orangtuanya dan adiknya masih ada. Suasana di rumah besar itu cukup sepi, apalagi ayah maupun ibunya sedang pergi keluar rumah. Adiknya menghampiri Shiroi dalam keadaan biasa, tidak seperti yang sakit ataupun kelelahan. Anak itu masih melompat-lompat kegirangan sambil menghampiri kakaknya yang baru tiba setelah pekerjaannya sebagai “peneman” Grace selesai.


“Kakaaak…lihat nih, Aria punya apa?”

“Apa?” Kata kakaknya malas.

“Ini buat kakak, ibu dan ayah lagi keluar…nih.” Aria menyodorkan sebuah kalung tali, dengan bandulnya berbentuk peti harta karun yang di belakangnya terukir nama Shiroi.

“Bagus…ini dari mana?”

“Aku…beli waktu kemarin…berwisata dengan teman-teman.”

“…”

“Oh…mau cake buatanku?”

“…”

“Kaak…Kakaaak???” Anak itu mengguncang tangan Shiroi pelan.

*PLAAAK*

Aria kaget setengah mati, kakaknya malah menamparnya keras. Shiroi beranjak dari tempat duduknya dan membanting kalung itu ke hadapan adiknya.


“Kenapa kamu nggak bilang kalau pergi?! Serumah cemas tahu!!!”

“Maaf…tapi aku terkekang di rumah…”

“SEENGGAKNYA KAMU TELEPON KAKAK!!!”

“…”

“Oke…oke…apa terjadi sesuatu di sana?” Shiroi berusaha meredam emosinya.

“…A…Aku…hampir saja…”

“…?”

“Di…culik…laki-laki yang…bawa pisa…u”

“KAMI DI RUMAH MENCARIMU, KAKAK CARI TIAP HARI KE SEKOLAH TAPI KAMU NGGAK ADA!!!”

“Maaf…”

“KAKAK CAPEK MENGURUSMU!!!”

“Ka…”

“AKU BENCI ARIA!!!”

*PLAAAAK*

Aria terjatuh keras ke tembok. Sayangnya, wajahnya sesaat sebelum ditampar mendadak pucat, fisiknya mendadak lemah dan ia menghembuskan nafas…nafas terakhirnya…

Seribu sesal menyelimuti wajah kakaknya, diguncangkannya tubuh adiknya sambil memanggil-manggil, namun saat ia tersadar Aria sudah tidak bisa bernafas, ia pegangi tangannya yang menggigil dengan keringat dingin. Sesaat kemudian, ia mengambil kalung itu dan dipakainya sambil menggendong tubuh beku adiknya. Tidak ada upaya lagi, ia hanya bisa merenungi apa yang diperbuatnya dengan airmata.

***

Setelah pertunjukan selesai, Shiroi tidak langsung pulang, ia mengganti bajunya di ruang ganti laki-laki lalu menghubungi ibu angkatnya, mengatakan bahwa ia tidak akan buru-buru pulang. Hari semakin sore, hingga gedung itu terasa sepi dan orang-orang sudah pulang. Shiroi yang kini berpakaian jubah dengan blazer dan kemeja, dipadu celana panjang berwarna hitam yang memberikan kesan resmi. Namun, kali ini ia memakai kalung itu di luar kemejanya. Lalu ia masuk ke dalam gedung dan duduk di kursi VIP, ia menengadah sambil memegangi kalungnya.


“Aria…maafkan kakak…”

“Seandainya aku bisa bertemu Aria lagi…”

“Aria…”


Tanpa disadarinya, Mia tengah berjalan ke arahnya. Gadis itu tidak berkata apapun walaupun ia sudah tahu, Shiroi yang ingin bertemu dengan adiknya, Aria. Setelah banyak berkata-kata penuh penyesalan, Shiroi mengatakan sesuatu. Mia membetulkan pita berwarna biru tua di bando putihnya, beruntung keberadaannya tidak diketahui, hanya kata-kata Shiroi yang membuat Mia mengisyaratkan keberadaannya.


“Aku…nggak akan menampar Mia, aku janji…kalaupun ia masih hidup…”

“…”

“Dia akan sama denganmu…Aria…”


Mia melangkahkan kakinya pelan. Saat ada cahaya redup menyinarinya dari luar, menciptakan bayangan yang menyatakan keberadaannya. Shiroi tidak menyadarinya, ia terus mengatakan harapannya.


“Aku ingin…Mia masih hidup, aku nggak ke rumahnya sore ini…”

“…Merenungi apa yang kulakukan…tapi drama tetaplah sebuah sandiwara…”

“Aku…akan menemui Mia sekarang, aku…aku nggak akan melakukan sesuatu yang kulakukan padamu…”

“Aria…kakak sayang kamu…kakak juga sayang…”

“Kakak juga menyayangi Mia.” Kata Shiroi kemudian, tiba-tiba Mia menghampirinya.

“Menemuiku?”


Shiroi sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat gadis itu ada di hadapannya sekarang dengan senyumannya. Penampilannya tidak seperti dulu, ia lebih mirip sosok perempuan dewasa sekarang, penampilannya pun lebih feminin. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung memeluk gadis itu.


“Shiroi…kamu ngapain di sini?”

“Tapi kamu masih hidup kan?”

“Iya…ini aku…”


Shiroi perlahan melepas pelukannya, lalu berpegangan pada lengan gadis itu.


“Kenapa nggak pulang? Nanti ada yang nyari loh.”

“Ini rumahku…”

“Rumah?”


Mia berlari ke luar gedung diikuti Shiroi, lalu berlari menembus semak dan berakhir di taman bermain, semak yang membentengi masih ada, namun agak jarang. Mia duduk di ayunan sambil bercerita sedikit, dan menjawab pertanyaan Shiroi tadi.


“Gedung kesenian itu sebenarnya rumahku.”

“…”

“Ayahku yang menyerahkan tanahnya…karena rumahku tepat di pusat kota…”

“Lalu…piano yang kamu mainkan itu tadi…”

“Itu punya ayahku…sudah tua usianya, jauh sebelum aku lahir.” Katanya seraya tersenyum.

“Piano yang di rumahmu…?”

“Itu hadiah dari ibunya Kak Grace.”

“…”

“Makannya kalau ada kerusakan di bagian senarnya aku kadang ikut membetulkannya.”

“Kenapa? Bukannya tukang reparasi piano juga ada di kota ini?”

“Hmm…memang, tapi piano itu pianoku juga…”

“…”

“Sudah lama aku tidak memainkannya lagi, rasanya senang sekali…serasa di rumahku sendiri.”

“Mia…boleh aku menanyakan sesuatu?”

“Ng?”

“Wa…Waktu rumah kamu dibongkar…bukannya ada piano juga di truk?”

“Ooh…itu hadiah dari ibu angkatku. Kamu tidak memperhatikan piano yang di ruangan itu ya?”

“Nggak…”

“Itu piano yang sama dengan yang di rumah.”

“…”

“Oya…maaf…aku terlalu depresi sehingga tidak menanggapimu…”

“…”

“Padahal, ada yang ingin kutanyakan padamu…”

“Jadi…kamu tahu aku ada di situ?”

“Ya…tapi aku sedang down sehingga aku ma…lah…”

“…”

Shiroi tak menyangka Mia masih ingat saat itu. Dugaannya tentang cuci otak ternyata salah besar. Ia tidak mau kehilangan orang-orang yang disayanginya dan menyayanginya. Tak lama, ia membiarkan Mia berada di hadapannya tanpa berkata apa-apa, gadis itu masih bingung dengan posisinya sekarang. Lalu, Shiroi mengalungkan sesuatu di leher Mia.


“Untukmu.”

“Ini…apa?”

“…”

“Namamu ada di sini, ini dari…?”

“Aria, itu pemberiannya. Pemberian adikku.”

“Makasih…”

“Pakailah.”


Mia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, perasaannya campur aduk dan ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Tadinya, ia ingin main piano sendirian di dalam gedung, tanpa diduganya ia bertemu dengan Shiroi dan menerima sesuatu dari laki-laki itu. Setelah itu, mereka berjalan bersama ke rumah Mia. Sambil memandangi langit senja, dua remaja itu sesekali tertawa di sepanjang perjalanan mereka.


***

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda mengenai posting di atas, terima kasih :)